Gaza EKOIN.CO – Hamas melalui sayap militernya, Brigade Izzuddin al-Qassam, masih mampu mempertahankan kekuatan tempur secara konsisten selama berbulan-bulan konflik di Gaza meski mengalami tekanan intens dari serangan militer Israel. Pendekatan terdesentralisasi dan struktur organisasi jaringan menjadi kunci utama kelangsungan operasi mereka.
Peneliti Tariq Hammoud dalam jurnal Journal of Palestine Studies edisi Juli 2024 menjelaskan bahwa Hamas beroperasi bukan sebagai organisasi hierarkis terpusat, melainkan sebagai entitas jaringan. Desentralisasi ini membuat organisasi tetap berjalan, meski terjadi gangguan atau hilangnya sejumlah pimpinan utama.
Menurut Hammoud, strategi desentralisasi dilakukan untuk menghindari fokus serangan Israel yang kerap menyasar tokoh pimpinan. Dengan membagi kepemimpinan ke lebih banyak pejabat, Hamas berusaha mengurangi dampak kerusakan terhadap struktur komandonya.
Pendekatan Desentralisasi Menjadi Kekuatan Operasi al-Qassam
Bilal Saab, peneliti dari lembaga Chatham House di London, juga menyoroti strategi Hamas dalam menghadapi tentara Israel. Kepada Financial Times, ia menyatakan bahwa pendekatan Hamas bertujuan menimbulkan kerusakan maksimal terhadap militer Israel melalui gabungan pasukan hibrida dan konvensional.
Saab menambahkan bahwa operasi militer al-Qassam sangat terdesentralisasi. Ia menjelaskan adanya struktur militer seluler di mana setiap unit tempur beroperasi secara mandiri, tanpa bergantung pada instruksi pusat. Ini menjadi kunci bertahannya serangan meski unit-unit utama mengalami kehilangan.
Model struktur seluler ini memungkinkan pasukan perlawanan untuk tetap bergerak dan menyerang secara fleksibel. Dengan kata lain, setiap unit dapat mengambil keputusan operasional sendiri sesuai kondisi lapangan, tanpa harus menunggu perintah dari pusat komando.
Mekanisme ini berbeda dari pendekatan militer konvensional yang bergantung pada komando pusat. Desentralisasi membuat Hamas lebih tahan terhadap serangan yang ditargetkan pada tokoh-tokoh tertentu atau pusat kendali.
Peter Konchak, seorang perwira Angkatan Darat Amerika Serikat sekaligus peneliti di Leiper Research Foundation, menjelaskan konsep ini dalam makalah yang terbit Agustus 2023. Ia menyebut bahwa untuk mengalahkan Hamas, tidak cukup hanya menghentikan pasukan garis depan.
Menurut Konchak, menghancurkan organisasi ini membutuhkan isolasi penuh terhadap jalur logistik dan pemutusan akses ke penguatan sumber daya. Pasalnya, struktur mereka memungkinkan pertahanan terus berjalan meski kehilangan banyak personel penting.
Pertempuran Tetap Berlangsung Tanpa Tergantung Satu Titik
Salah satu penekanan utama dari berbagai pengamat adalah bahwa operasi perlawanan Hamas tidak bergantung pada satu pusat komando tunggal. Meskipun beberapa unit terluka atau lumpuh, pertarungan di lapangan tetap berlanjut karena adanya pembagian fungsi secara menyeluruh.
Makalah-makalah tersebut menekankan bahwa tidak peduli seberapa besar kerusakan yang dialami pada bagian-bagian tertentu dari struktur militer Hamas, keseluruhan sistem tetap berjalan. Hal ini menyerupai karakter organisme yang tetap hidup meski sebagian tubuhnya rusak.
Struktur militer seperti ini memungkinkan regenerasi. Ketika satu bagian “dipotong” atau dihancurkan, bagian itu mampu tumbuh menjadi unit baru yang tetap fungsional dan mampu bertempur seperti sebelumnya.
Dengan sistem seperti ini, Hamas dinilai mampu menyerap pukulan besar sekalipun tanpa menghentikan laju pertempuran. Hal ini tercermin dari bagaimana mereka terus meluncurkan serangan terhadap pasukan Israel dari berbagai arah meskipun basis utama telah hancur.
Bahkan dalam situasi perang yang telah berlangsung lebih dari sembilan bulan, brigade al-Qassam tetap menunjukkan kemampuan manuver dan melancarkan serangan ke berbagai titik wilayah konflik. Ini menunjukkan bahwa sistem operasional mereka tidak tergantung pada satu titik komando.
Para peneliti sepakat bahwa keunggulan utama Hamas saat ini bukan terletak pada kekuatan senjata atau jumlah pasukan, melainkan pada keunggulan struktur organisasi yang fleksibel, tahan banting, dan terus berevolusi menghadapi tekanan.
Bahkan saat pasokan logistik terbatas dan komunikasi terganggu, masing-masing unit tetap bisa menjalankan misi sesuai tujuan strategis jangka panjang. Ini membuat upaya Israel untuk mematahkan perlawanan menjadi lebih rumit dan tidak langsung.
Peter Konchak menegaskan bahwa pendekatan militer Israel perlu lebih strategis dan menyeluruh jika ingin mematahkan perlawanan. Ia menyarankan fokus pada pemutusan suplai dan penguatan dari luar yang menopang jaringan perlawanan.
Makalah-makalah yang dikaji menunjukkan bahwa ketahanan sistem militer Hamas bisa dijelaskan melalui logika biologi: seperti organisme hidup, mereka mampu mempertahankan kelangsungan dengan mengaktifkan fungsi-fungsi alternatif ketika sebagian struktur lumpuh.
Melihat situasi ini, sulit bagi militer Israel untuk meraih kemenangan mutlak hanya melalui pembunuhan tokoh dan penghancuran lokasi-lokasi utama. Kemenangan tersebut memerlukan pendekatan jangka panjang terhadap sistem dan jaringan pendukungnya.
Dalam jangka panjang, ketahanan organisasi seperti Hamas menuntut strategi kontra yang tidak hanya militeristik, melainkan juga bersifat struktural dan sistemik. Ketahanan jaringan membuatnya mampu beradaptasi secara cepat dan meminimalkan dampak kerusakan.
pertempuran yang terjadi di Gaza melibatkan lebih dari sekadar kekuatan tempur biasa. Ia bergantung pada kemampuan organisasi bertahan, beradaptasi, dan beregenerasi dalam kondisi ekstrem.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Struktur jaringan terdesentralisasi yang diadopsi Hamas membuatnya lebih fleksibel dalam menjalankan operasi militer. Ini menjadi tantangan besar bagi kekuatan konvensional seperti Israel yang terbiasa menghadapi sistem komando terpusat.
Desentralisasi juga menciptakan ketahanan dalam jangka panjang karena tidak ada satu titik lemah yang bisa dimanfaatkan untuk melumpuhkan seluruh jaringan. Setiap unit memiliki otonomi yang menjadikannya lebih gesit dan responsif.
Dalam konteks perang asimetris, strategi ini sangat efektif. Bahkan kehilangan pemimpin utama tidak serta-merta menghentikan operasi. Ini menunjukkan betapa pentingnya memahami struktur organisasi lawan secara mendalam sebelum menerapkan pendekatan militer.
Kombinasi antara struktur seluler dan pasukan hibrida menciptakan kesulitan tambahan bagi militer Israel untuk mengidentifikasi target yang efektif. Tanpa pemetaan jaringan yang akurat, serangan besar pun bisa menjadi tidak efisien.
Untuk ke depan, diperlukan pendekatan multidimensi dari pihak manapun yang ingin menyelesaikan konflik secara tuntas. Ini tidak hanya melalui operasi militer, melainkan juga pemutusan sumber daya, penguatan diplomasi, serta pemahaman psikososial dari struktur organisasi seperti Hamas.(*)