Jakarta, EKOIN.CO – Dwi Hartono dan C alias Ken, dua tersangka otak penculikan serta pembunuhan bos bank plat merah Mohamad Ilham Pradipta, ternyata lebih dahulu beraksi dalam kasus pembobolan rekening dormant senilai Rp204 miliar. Kejahatan ini dilakukan bersama tujuh orang lainnya dengan modus akses ilegal ke sistem perbankan.
[Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v]
Kasus itu terjadi pada 20 Juni 2025 dan diungkap penyidik Subdit II Perbankan Ditipideksus Bareskrim Polri. Dana dipindahkan ke sejumlah rekening penampungan hanya dalam waktu 17 menit.
Brigjen Pol Helfi Assegaf, Dirtipidsus Bareskrim Polri, menjelaskan bahwa sindikat menggunakan modus ancaman terhadap kepala cabang pembantu bank di Jawa Barat untuk memperoleh akses Core Banking System.
“Para eksekutor, termasuk mantan teller bank, melakukan akses ilegal terhadap aplikasi. Dana sebesar Rp204 miliar dipindahkan ke lima rekening penampungan dalam 42 kali transaksi yang hanya berlangsung 17 menit,” ujar Helfi.
Modus Besar Pembobolan Rekening
Penyidikan mengungkap sejak awal Juni 2025 sindikat yang menyebut diri sebagai “Satgas Perampasan Aset” merencanakan aksi bersama kepala cabang pembantu bank. Mereka menjanjikan bagi hasil dan menekan korban dengan ancaman keselamatan keluarga.
Eksekusi dipilih pada Jumat malam setelah jam operasional bank untuk menghindari deteksi sistem. Dalam hitungan menit, dana nasabah berhasil dipindahkan.
Bank kemudian melaporkan transaksi mencurigakan itu ke Bareskrim. Laporan diteruskan ke PPATK untuk menelusuri sekaligus memblokir aliran dana. Hasilnya, sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka.
Dua nama yang paling menonjol adalah Dwi Hartono dan C alias Ken. Keduanya bukan hanya bagian dari pembobolan rekening, tetapi juga menjadi aktor utama dalam kasus penculikan kepala cabang dan pembunuhan Ilham Pradipta.
Otak Penculikan dan Jejak Kriminal
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Wira Satya Triputra, menyebut C alias Ken sebagai otak utama. Ia mengaku memiliki data rekening dormant dan membentuk tim IT untuk mengeksekusi rencana.
Namun, upaya mendekati kepala cabang selalu gagal hingga akhirnya mereka mempertimbangkan cara paksa. Dalam pertemuan Juli 2025, Ken menawarkan dua opsi: penculikan disertai ancaman atau penculikan hingga pembunuhan.
“Lalu opsi kedua, melakukan pemaksaan dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan, dan apabila berhasil maka korban akan dihilangkan atau dibunuh,” kata Wira dalam konferensi pers, 16 September 2025.
Akhirnya, opsi pertama dipilih. Namun, dalam praktiknya, penculikan pada 20 Agustus 2025 berujung pada kematian Ilham Pradipta.
C alias Ken ditangkap di rumahnya di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, 24 Agustus 2025. Penangkapan itu membuka tabir kejahatan berlapis mulai dari pembobolan hingga penculikan dan pembunuhan.
Sosok Dwi Hartono yang Mengejutkan
Berbeda dengan Ken, sosok Dwi Hartono dikenal publik sebagai wirausahawan sekaligus motivator bisnis. Lahir di Lahat, Sumatera Selatan, ia pernah merintis warnet, rental game, coffee shop, hingga platform belajar online.
Dwi bahkan dikenal dermawan di kampung halamannya, Kabupaten Tebo, Jambi. Joko, teman sekolahnya, mengaku terkejut mendengar keterlibatan Hartono dalam kejahatan berat.
“Mas Dwi ini dikenal orang yang dermawan, suka bergaul, dan suka melakukan kegiatan sosial,” ujar Joko.
Selain itu, Hartono pernah mengundang artis ternama untuk hiburan warga desa. Ia juga sering mengunggah motivasi bisnis di kanal YouTube Klan Hartono dengan lebih dari 169 ribu pengikut.
Namun, di balik citra baiknya, ia diduga kuat menjadi bagian penting dalam pencucian uang hasil pembobolan rekening dormant dan mendukung aksi penculikan.
Kelompok Sindikat yang Terstruktur
Polisi menyebut sembilan tersangka terbagi dalam tiga kelompok. Dari internal bank, ada kepala cabang pembantu berinisial AP yang menyerahkan akses aplikasi, serta GRH sebagai penghubung.
Kelompok eksekutor dipimpin Ken bersama mantan pegawai bank dan konsultan hukum. Mereka mengatur strategi sekaligus mengaku sebagai Satgas Perampasan Aset.
Kelompok ketiga adalah pencucian uang, di mana Dwi Hartono berperan penting membuka blokir dan mengelola aliran dana. IS menyiapkan rekening penampungan.
Peran setiap individu menunjukkan bahwa sindikat ini bekerja sistematis dan profesional. Meski demikian, jejak transaksi akhirnya terdeteksi hingga membawa kasus ini ke permukaan.
Keterhubungan Dua Kasus Besar
Keterlibatan Dwi Hartono dan Ken dalam dua kejahatan besar memperlihatkan pola berulang: penggunaan akses ilegal perbankan diikuti aksi kriminal fisik untuk menekan pihak bank.
Awalnya mereka fokus pada dana dormant, namun ketika rencana macet, penculikan dijadikan jalan pintas. Sayangnya, metode itu berakhir fatal bagi Ilham Pradipta.
Kini, kasus pembobolan rekening Rp204 miliar dan penculikan berujung pembunuhan ditangani oleh dua direktorat berbeda di kepolisian. Namun, simpulnya tetap pada dua nama: Dwi Hartono dan C alias Ken.
Kasus ini menunjukkan betapa rawannya sistem perbankan jika terjadi kebocoran dari dalam, terutama lewat kolaborasi pejabat bank dengan sindikat kejahatan.
Penyidikan mendalam membuka fakta bahwa pembobolan rekening dormant senilai ratusan miliar bukan hanya soal uang, tetapi juga pemicu rentetan kejahatan lebih kejam.
Kejatuhan dua sosok utama, Dwi Hartono dan Ken, menegaskan bahwa citra publik seseorang tidak selalu sejalan dengan aktivitas tersembunyi yang dijalankannya.
Keterlibatan internal bank menambah kompleksitas, sehingga pengawasan dan integritas pegawai menjadi kunci utama pencegahan.
Masyarakat diharapkan meningkatkan kewaspadaan, sementara perbankan dan aparat perlu memperkuat sistem pengamanan demi menutup peluang kejahatan serupa. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v