Jakarta, EKOIN.CO – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi di Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Jakarta kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (29/9/2025). Terdakwa mantan Kepala Dinas Kebudayaan Iwan Henry Wardhana hadir dalam persidangan untuk mendengarkan keterangan saksi ahli hukum administrasi negara dan keuangan publik, Zainuddin Nugraha Simatupang, yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam kasus ini, Iwan bersama terdakwa lain, yakni M Fairza Maulana dan Gatot Arif Rahmadi, didakwa merugikan negara hingga Rp36 miliar dari program yang tercatat dalam APBD 2022–2024.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kuasa hukum Iwan, Ezar Ibrahim, SH, menyampaikan pernyataan tegas usai sidang. Ia menekankan bahwa kliennya tidak memiliki kewenangan hukum maupun tanggung jawab langsung dalam kasus yang sedang diperiksa.
“Iya, tadi kan sudah jelas disampaikan ahli, bahwa secara hukum negara, ketika sudah mendelegasikan itu ke bawah, ini tidak punya tanggung jawab atau kewenangan. Jadi murni yang bertanggung jawab adalah para pejabat yang berwenang. Tidak bisa dikatakan terdakwa bertanggung jawab terhadap hal itu,” kata Ezar.
Menurut Ezar, apa yang didakwakan kepada Iwan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini karena posisi Iwan tidak berada pada tataran teknis pelaksanaan pencairan dana maupun penandatanganan dokumen yang dipermasalahkan.
Penjelasan Ahli dalam Persidangan
Dalam persidangan, saksi ahli Zainuddin Nugraha Simatupang menyampaikan bahwa arahan yang tidak berbentuk formal serta tidak memiliki dasar standar operasional prosedur (SOP) tidak dapat dijadikan instruksi yang mengikat secara hukum.
Hal tersebut sejalan dengan penjelasan kuasa hukum yang menilai dakwaan kepada Iwan terlalu dipaksakan. “Ahli tadi sudah mengatakan bahwa arahan yang tidak dalam bentuk formal dan tanpa SOP tujuan dari dinas, itu bukan arahan yang mengikat. Jadi kalau hanya sebatas obrolan atau permintaan lisan, tidak bisa dijadikan dasar pertanggungjawaban hukum,” jelas Ezar.
Ia juga menyinggung dugaan adanya kamuflase jebakan melalui laporan serta dokumen yang dianggap tidak sah. Menurutnya, kliennya tidak pernah menerima keuntungan pribadi dari proses yang dituduhkan.
“Apakah kalau misalnya seorang gubernur atau pejabat lain ditanya di luar jam dinas, itu bisa dikatakan arahan melekat secara pribadi? Tentu tidak. Sama halnya dengan klien kami, yang tidak pernah menerima manfaat dari barang atau gratifikasi apapun. Justru sudah dibuktikan bahwa ada proposal-proposal dengan tanda tangan dipalsukan,” ungkap Ezar.
Lebih jauh, Ezar menggarisbawahi adanya kejanggalan dalam mekanisme pencairan dana. Menurutnya, alur administrasi keuangan daerah sudah memiliki aturan yang ketat dan tidak berada di bawah kendali kliennya.
Alur Pencairan Dana Dipersoalkan
“Proses pencairan SPJ itu alurnya dari bawah. Seharusnya bendahara dan pejabat administrasi yang berwenang yang memproses. Jadi kalau ada kejanggalan dalam penandatanganan atau pencairan, itu bukan tanggung jawab klien kami. Klien kami tidak punya kewenangan untuk itu,” tegasnya.
Ezar juga menambahkan bahwa sistem pengawasan internal seharusnya menjadi benteng utama dalam mencegah penyalahgunaan anggaran. Oleh sebab itu, menurutnya, tanggung jawab tidak bisa dibebankan kepada kepala dinas jika tidak ada bukti keterlibatan langsung.
Ia menilai bahwa kasus ini sarat dengan upaya untuk menyeret pihak-pihak tertentu tanpa bukti nyata. “Selama ini, terdakwa hanya menjalankan perintah kerja sesuai tupoksi. Tidak ada pemanfaatan pribadi, tidak ada gratifikasi yang diterima. Justru banyak dokumen yang dipalsukan dan disalahgunakan pihak lain,” tandasnya.
Persidangan yang dipimpin majelis hakim Tipikor tersebut akan kembali digelar pekan depan dengan agenda mendengar keterangan saksi dari pihak pelaksana kegiatan. Hal ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jelas terkait pihak yang bertanggung jawab dalam kasus dugaan korupsi dana sebesar Rp36 miliar itu.
Majelis hakim juga meminta jaksa penuntut umum untuk menghadirkan saksi-saksi tambahan agar proses pembuktian berjalan lebih transparan. Hingga saat ini, pengadilan belum memberikan putusan sela terkait permohonan eksepsi yang sebelumnya diajukan kuasa hukum terdakwa.
Kasus dugaan korupsi di lingkungan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta ini menjadi perhatian publik karena nilai kerugian negara yang cukup besar. Selain itu, nama-nama pejabat yang terlibat di dalamnya menambah sorotan terhadap tata kelola keuangan daerah.
Persidangan ini diperkirakan masih akan berlangsung cukup panjang karena banyak saksi yang harus didengar keterangannya. Sejumlah dokumen juga masih harus diverifikasi keasliannya untuk memastikan kebenaran dakwaan.