Jakarta EKOIN.CO – Aktivitas manufaktur Indonesia kembali menunjukkan perlambatan pada Juli 2025, menjadikannya sebagai negara dengan performa terburuk di antara negara-negara ASEAN. Data ini tercermin dari rilis terbaru Purchasing Managers’ Index (PMI) oleh S&P Global yang mencatat skor Indonesia hanya sebesar 49,2.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut laporan resmi S&P Global Market Intelligence, PMI manufaktur ASEAN secara keseluruhan justru mengalami peningkatan ke zona ekspansi dengan angka 50,1. Angka ini menjadi sinyal positif pertama setelah tiga bulan berturut-turut kawasan ini berada di zona kontraksi.
Dalam keterangan yang disampaikan oleh Maryam Baluch, Ekonom S&P Global, disebutkan bahwa kondisi operasional manufaktur ASEAN mengalami perbaikan ringan namun menjanjikan pada awal paruh kedua tahun ini. Aktivitas output mulai tumbuh, dan tekanan pada pesanan baru serta ketenagakerjaan mulai berkurang.
Vietnam dan Thailand Pimpin Zona Ekspansif
Vietnam menjadi negara dengan kinerja terbaik dalam sektor manufaktur ASEAN, mencatatkan PMI sebesar 52,4 pada Juli 2025. Thailand menyusul dengan skor 51,9, sementara Filipina berada di angka 50,9, masih dalam zona ekspansi.
Sementara itu, Malaysia dan Myanmar belum berhasil keluar dari tekanan. Kedua negara masih berada di bawah garis 50, yang menunjukkan zona kontraksi. Malaysia mencatatkan PMI sebesar 49,7 dan Myanmar 49,5.
Indonesia berada di posisi paling bawah, dengan skor PMI 49,2. Angka ini lebih baik dibanding bulan sebelumnya, namun tetap menandakan kontraksi yang berlanjut dalam sektor industri manufaktur nasional.
Empat Bulan Berturut-turut Alami Kontraksi
Data sebelumnya menunjukkan tren penurunan yang konsisten bagi Indonesia. PMI manufaktur berada di level 46,7 pada April, naik ke 47,4 pada Mei, lalu kembali turun ke 46,9 pada Juni 2025. Dengan data Juli sebesar 49,2, maka Indonesia telah mencatat kontraksi selama empat bulan berturut-turut.
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, disebutkan bahwa penurunan aktivitas manufaktur Indonesia masih berlangsung, meskipun kecepatannya mulai melambat. Output dan pesanan baru masih menurun, sementara permintaan ekspor tetap tertekan.
Bhatti menambahkan, perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung tetap konservatif dalam operasionalnya. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan tingkat perekrutan tenaga kerja serta pembelian bahan baku yang masih terbatas.
Meski begitu, laju penurunan pada Juli 2025 tidak sedalam bulan sebelumnya. Ini menjadi indikasi bahwa tekanan terhadap sektor manufaktur Indonesia perlahan mulai mereda, meski belum cukup kuat untuk membawa masuk ke zona ekspansif.
Namun demikian, masih terdapat tantangan besar dalam hal permintaan global dan efisiensi rantai pasok yang turut memengaruhi sektor ini. Terlebih, ketidakpastian ekonomi global belum menunjukkan tanda-tanda mereda, yang turut memengaruhi ekspor dan investasi di sektor industri nasional.
S&P Global menyatakan bahwa momentum pemulihan di kawasan ASEAN tidak serta-merta menyebar merata ke seluruh negara. Beberapa negara berhasil mencatatkan pemulihan berkat perbaikan permintaan domestik dan ekspor.
Vietnam, misalnya, mampu mencatat pertumbuhan berkat lonjakan pesanan baru, terutama dari mitra dagang utama seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Hal serupa juga dialami oleh Thailand yang mengalami peningkatan produksi dan pembelian input.
Berbanding terbalik, Indonesia justru menghadapi tantangan berkelanjutan dari lemahnya permintaan domestik dan luar negeri. Ini menunjukkan bahwa strategi pemulihan sektor industri di dalam negeri perlu dievaluasi kembali agar lebih adaptif terhadap dinamika pasar global.
Selain itu, tekanan terhadap tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia juga mulai terlihat. Banyak perusahaan yang masih melakukan efisiensi, termasuk pengurangan karyawan dan pengendalian produksi untuk menyesuaikan dengan kondisi permintaan.
Laporan ini menjadi perhatian penting bagi pemerintah Indonesia dalam menyusun kebijakan industri yang lebih responsif. Tanpa intervensi dan dukungan yang memadai, pemulihan manufaktur bisa menjadi semakin lambat dan tertinggal dari negara-negara tetangga.
Pemerintah diharapkan dapat memperkuat dukungan terhadap sektor industri, termasuk kemudahan dalam akses bahan baku, insentif fiskal, serta peningkatan daya saing produk lokal agar mampu bersaing di pasar internasional.
Sektor manufaktur memegang peran penting dalam menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa memberikan dampak lebih luas terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan.
, aktivitas manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama empat bulan terakhir dengan posisi paling bawah di kawasan ASEAN pada Juli 2025. Data ini menandakan perlunya tindakan cepat dan terukur dari para pemangku kepentingan.
Dengan kondisi permintaan yang masih rendah dan aktivitas ekspor yang belum stabil, penguatan strategi industri menjadi kebutuhan mendesak untuk menghindari dampak ekonomi yang lebih dalam.
Perbaikan iklim usaha, penyesuaian regulasi, dan pengembangan inovasi produk dalam negeri perlu menjadi fokus utama untuk mendongkrak kinerja sektor manufaktur.
Kehadiran negara-negara ASEAN lain di zona ekspansi menunjukkan bahwa pemulihan sebenarnya memungkinkan, selama ada sinergi yang kuat antara kebijakan pemerintah dan kesiapan industri.
Jika langkah konkret tidak segera diambil, maka kesenjangan antara Indonesia dan negara-negara ASEAN lain dalam bidang manufaktur akan semakin lebar, menyulitkan proses integrasi ekonomi regional ke depan. (*)