Amur EKOIN.CO – Ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat kembali meningkat tajam setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menggeser empat pesawat pengebom nuklir Tu-95MS ke wilayah yang lebih strategis mendekati Ukraina. Langkah ini diambil sebagai respons atas pengerahan dua kapal selam nuklir AS ke wilayah yang lebih dekat dengan Rusia, menyusul ancaman perang nuklir yang dilontarkan oleh Dmitry Medvedev, sekutu dekat Putin.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut laporan Insider UA, pesawat-pesawat Tu-95MS tersebut telah dilengkapi rudal dan berpotensi digunakan dalam serangan besar terhadap Ukraina. Pesawat-pesawat strategis ini sebelumnya bermarkas di pangkalan udara Olenya di wilayah Arktik Murmansk, namun dipindahkan pasca-serangan drone Ukraina pada 1 Juni lalu.
Langkah relokasi ini juga mencakup pemindahan dari pangkalan Engels-2 di wilayah Saratov karena meningkatnya kekhawatiran terhadap serangan Ukraina. Keempat pesawat itu kini ditempatkan di pangkalan udara Ukrainka, wilayah Amur, sekitar 3.650 mil dari Moskow.
Pemindahan pesawat pengebom Rusia
Pemindahan ini dinilai sebagai bentuk antisipasi Rusia terhadap pergerakan militer Amerika Serikat. Donald Trump, Presiden AS, menyatakan bahwa dua kapal selam nuklir kini berada pada posisi strategis untuk merespons potensi ancaman dari Rusia. Hal ini menambah eskalasi di tengah konflik berkepanjangan antara Moskow dan Kyiv.
Daily Mail melaporkan bahwa beberapa pesawat Tu-95MS kini telah kembali ke wilayah barat Rusia, menunjukkan fleksibilitas dalam penempatan armada nuklir Rusia. Sumber tersebut menyebut bahwa pesawat ini bukan hanya bagian dari persenjataan nuklir Rusia, tetapi juga kerap digunakan untuk menyerang Ukraina menggunakan bom konvensional.
Sementara itu, Dinas Keamanan Dalam Negeri Ukraina mengklaim telah menghancurkan satu jet tempur Rusia dan merusak empat lainnya dalam serangan di Krimea, wilayah yang saat ini berada di bawah kendali Rusia. Insiden ini terjadi hanya seminggu sebelum kunjungan Steve Witkoff, utusan khusus Presiden Trump, ke Rusia.
Eskalasi ancaman antara Rusia dan AS
Dalam pernyataan resminya, Ukraina menjelaskan bahwa pesawat Su-30 milik Rusia hancur total, sementara satu pesawat lain mengalami kerusakan. Tiga pesawat jet pengebom Su-24 juga menjadi sasaran. Keberhasilan serangan ini diumumkan pada Senin oleh otoritas keamanan Ukraina.
Kunjungan Steve Witkoff ke Rusia direncanakan berlangsung pada Rabu, 6 Agustus 2025. Misi diplomatik ini digelar bersamaan dengan tekanan baru dari Trump yang mengancam pemberlakuan sanksi terhadap Kremlin jika tak ada kemajuan menuju gencatan senjata dan perdamaian.
Trump menegaskan bahwa pertemuan ini merupakan inisiatif dari pemerintahan Putin, namun ia memberikan tenggat waktu hingga Jumat bagi Rusia untuk menghentikan perang di Ukraina. Sebagai tanggapan, Dmitry Medvedev menyebut bahwa ultimatum semacam itu merupakan ancaman langsung terhadap negaranya sendiri.
“Setiap ultimatum baru merupakan ancaman dan langkah menuju perang. Bukan antara Rusia dan Ukraina, tetapi dengan negaranya sendiri,” ujar Medvedev. Trump merespons pernyataan tersebut dengan menyebutnya sangat provokatif dan memperbesar risiko konflik global.
Dilansir dari Al Jazeera, Trump mengungkapkan rasa frustrasinya atas situasi saat ini, menyebut serangan Rusia terhadap Ukraina sebagai tindakan “menjijikkan”. Ia menambahkan bahwa Steve Witkoff, kini berada di Timur Tengah, akan segera berangkat ke Moskow untuk bertemu Putin.
Sebelumnya, Putin dan Witkoff dilaporkan telah bertemu beberapa kali di Moskow. Namun, upaya diplomasi Trump untuk meredakan ketegangan dengan Kremlin mengalami jalan buntu. Washington menegaskan bahwa Moskow hanya memiliki waktu hingga akhir pekan depan untuk menghentikan agresi militer.
Trump juga menyatakan bahwa sanksi yang dirancang oleh pemerintahannya dapat mencakup “tarif sekunder” terhadap mitra dagang Rusia seperti Tiongkok dan India. Strategi ini bertujuan memberi tekanan tambahan kepada Moskow, meskipun berisiko mengganggu stabilitas ekonomi global.
Presiden Trump, dalam masa jabatan keduanya, semula optimistis bahwa konflik di Ukraina yang dimulai sejak invasi Rusia pada Februari 2022 akan segera berakhir. Namun, ketegangan yang meningkat dalam beberapa pekan terakhir membuatnya semakin keras mengecam tindakan militer Rusia.
Putin di sisi lain menyampaikan bahwa Rusia tetap menginginkan perdamaian yang langgeng dan stabil di Ukraina. Ia menegaskan bahwa prasyarat untuk perdamaian tidak berubah, sementara Kyiv terus mendorong dialog langsung antar pemimpin.
Meski mendapat tekanan dari pemerintahan Trump, Putin bersikeras menolak seruan penghentian operasi militer yang telah berlangsung hampir tiga setengah tahun. Kedua negara kini berada di persimpangan penting, antara upaya damai dan kemungkinan eskalasi konflik lebih luas.
Ketegangan antara dua negara bersenjata nuklir ini menciptakan kekhawatiran di komunitas internasional. Negara-negara Eropa menyatakan keprihatinan mereka dan menyerukan langkah diplomatik yang lebih intensif untuk meredakan situasi yang berpotensi memburuk.
Konflik ini menjadi pengingat bahwa dinamika geopolitik dunia masih sangat rentan terhadap gesekan besar. Rusia dan Amerika Serikat, sebagai kekuatan militer global, dituntut bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dunia di tengah situasi yang kompleks.
Pemerintah Ukraina menyambut baik dukungan dari AS, namun juga menyerukan kepada dunia internasional untuk terus menekan Moskow agar menghentikan serangan dan membuka jalan bagi perundingan damai.
Dalam beberapa hari ke depan, hasil dari pertemuan antara utusan AS dan pemerintah Rusia akan sangat menentukan arah konflik ini. Keputusan yang diambil oleh kedua pihak akan berdampak luas bagi kestabilan regional maupun global.
Pertemuan Witkoff dan Putin diyakini akan menjadi ajang penentuan apakah diplomasi masih bisa menyelamatkan situasi atau justru membuka jalan menuju konflik yang lebih besar dan meluas.
dari perkembangan ini adalah bahwa situasi antara Rusia dan Amerika Serikat sedang berada dalam fase kritis. Pemindahan pesawat pengebom oleh Rusia menunjukkan keseriusan ancaman yang mereka hadapi, serta kesiapan menghadapi tekanan militer dan diplomatik dari AS.
Langkah-langkah strategis militer ini berpotensi memperkeruh upaya gencatan senjata yang sedang diupayakan, terutama jika kedua belah pihak tidak menemukan titik temu dalam negosiasi yang akan berlangsung.
Ancaman sanksi baru dari Amerika Serikat bisa menjadi pemicu tambahan ketegangan, meskipun di sisi lain bisa menjadi alat tekanan efektif untuk menghentikan agresi Rusia di Ukraina.
Situasi ini juga menunjukkan betapa cepatnya konflik regional bisa meluas menjadi isu global, melibatkan banyak negara dan kepentingan, termasuk mitra dagang Rusia di Asia.
Penting bagi komunitas internasional untuk mendorong dialog damai dan mencegah terjadinya eskalasi militer yang bisa mengakibatkan dampak kemanusiaan dan ekonomi global yang parah.
yang dapat diberikan dalam situasi ini adalah agar kedua pihak, Rusia dan Amerika Serikat, menahan diri dan memprioritaskan diplomasi di atas kekuatan militer. Setiap keputusan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat sipil yang menjadi korban utama konflik.
Penting juga bagi negara-negara lain untuk berperan aktif dalam mendorong tercapainya gencatan senjata, dengan menawarkan mediasi netral guna memulai dialog konstruktif antara Rusia dan Ukraina.
Masyarakat internasional perlu meningkatkan tekanan politik dan ekonomi kepada pihak-pihak yang menghambat proses damai, sekaligus mendukung upaya bantuan kemanusiaan bagi korban konflik.
Negosiasi tingkat tinggi harus segera dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak terkait agar solusi jangka panjang bisa ditemukan untuk mengakhiri krisis ini.
Akhirnya, semua pihak harus menyadari bahwa perdamaian tidak akan tercapai jika kekerasan terus berlanjut. Komitmen pada hukum internasional dan dialog terbuka merupakan satu-satunya jalan menuju stabilitas yang langgeng. (*)