Moskwa EKOIN.CO – Ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat kembali meningkat usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan pengerahan dua kapal selam nuklir ke dekat wilayah Rusia. Langkah ini memicu reaksi keras dari Moskwa yang menyatakan tidak gentar, bahkan memperingatkan bahwa kekuatan kapal selam nuklir Rusia jauh melampaui Amerika Serikat.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pernyataan tegas datang dari Viktor Vodolatsky, anggota Parlemen Rusia sekaligus Wakil Ketua Pertama Komite Duma Negara untuk Urusan CIS dan Hubungan Internasional. Ia menegaskan bahwa kapal selam AS yang dikerahkan oleh Trump sebenarnya telah lama terpantau oleh militer Rusia dan berada dalam pengawasan ketat.
Rusia Klaim Lebih Unggul di Lautan
Dalam pernyataannya yang dikutip kantor berita TASS pada Minggu (3/8), Vodolatsky menegaskan bahwa Rusia memiliki lebih banyak kapal selam nuklir aktif di berbagai lautan dunia. Ia juga menambahkan bahwa kapal-kapal tersebut dilengkapi dengan senjata paling kuat dan mematikan.
“Kapal selam (nuklir) kami jauh lebih banyak di lautan dunia, memiliki senjata terkuat dan terdahsyat. Inilah sebabnya, biarkan dua kapal (Trump) berlayar, mereka sudah lama berada di bawah todongan senjata. Kami tidak bisa memberikan jawaban, karena kami tahu betul siapa Donald Trump,” ujar Vodolatsky.
Trump mengumumkan pengerahan dua kapal selam nuklir itu melalui platform Truth Social pada Jumat (1/8). Langkah tersebut, menurutnya, adalah respons terhadap pernyataan Dmitry Medvedev, Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia, yang dinilai sangat provokatif.
Trump dan Medvedev Saling Serang Retorika
Trump memperingatkan bahwa kata-kata dapat menyebabkan konsekuensi serius. Ia berharap pernyataan Medvedev tidak mengarah pada konflik lebih besar. “Kata-kata sangatlah penting dan seringkali dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan, saya harap ini tidak termasuk. Terima kasih atas perhatian Anda terhadap masalah ini,” sebut Trump dalam unggahan tersebut.
Namun, Trump tidak menyebutkan secara spesifik jenis atau lokasi kapal selam nuklir yang dikerahkannya. Hal ini menimbulkan berbagai spekulasi, namun Rusia tetap menegaskan posisi mereka bahwa kekuatan militer laut mereka tetap dominan.
Vodolatsky juga mengingatkan bahwa Amerika Serikat seharusnya fokus pada upaya dialog dan kerja sama. Ia menyarankan pembentukan kelompok negosiasi untuk mencegah kemungkinan terburuk, yaitu pecahnya Perang Dunia III.
Ketegangan ini berawal dari pernyataan Medvedev yang mengkritik Trump terkait ultimatum gencatan senjata terhadap Rusia dalam konteks perang Ukraina. Dalam unggahan di platform X pada akhir Juli, Medvedev menyebut Trump tengah bermain-main dengan ancaman serius.
“Trump sedang memainkan permainan ultimatum dengan Rusia: 50 hari atau 10 hari. Dia harus mengingat 2 hal: 1. Rusia bukanlah Israel atau bahkan Iran. 2. Setiap ultimatum baru merupakan ancaman dan langkah menuju perang. Bukan antara Rusia dan Ukraina, melainkan dengan negaranya sendiri,” tulis Medvedev.
Lebih lanjut, Medvedev menyinggung sistem pertahanan nuklir otomatis Rusia yang dikenal sebagai Dead Hand, sebagai simbol bahwa Rusia memiliki pertahanan terakhir yang sangat mematikan. Ia juga menyindir Trump atas komentarnya mengenai ekonomi Rusia dan India.
“Biarkan dia mengingat film favoritnya tentang mayat hidup, dan betapa berbahayanya Dead Hand yang legendaris,” tulis Medvedev, Kamis (30/7), mengacu pada kemampuan Rusia dalam mempertahankan diri secara otomatis jika diserang nuklir.
Hingga kini belum ada tanggapan resmi dari pihak militer Amerika Serikat mengenai klaim Rusia soal keunggulan kapal selam maupun status kapal selam nuklir yang dikerahkan. Namun ketegangan diplomatik ini terus menjadi perhatian global.
Situasi ini menjadi sinyal terbaru dari memburuknya hubungan antara dua kekuatan nuklir utama dunia. Analis internasional mencermati bahwa peningkatan retorika militer semacam ini berpotensi memicu krisis yang lebih luas.
Sementara itu, komunitas internasional menyerukan agar kedua negara menahan diri dan mengedepankan jalur diplomasi. Ancaman saling balas, jika tidak segera dihentikan, bisa berdampak pada stabilitas global.
Langkah Trump dan respons Rusia menjadi sorotan tajam, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik yang sedang berlangsung. Potensi konflik terbuka menjadi ancaman nyata jika situasi tidak dikelola dengan bijaksana.
dari perkembangan ini menunjukkan bahwa ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Saling ancam, terutama dengan senjata nuklir, memperlihatkan bahwa risiko perang terbuka semakin meningkat. Hal ini menjadi kekhawatiran utama bagi banyak pihak.
Penting bagi kedua negara untuk segera menghentikan eskalasi verbal dan militer demi mencegah kesalahan perhitungan yang bisa berujung fatal. Penguatan jalur diplomasi menjadi pilihan terbaik untuk menurunkan tensi yang kian memanas.
Dialog dan kerja sama, sebagaimana disarankan Viktor Vodolatsky, dapat menjadi jalan keluar dari situasi berbahaya ini. Perlu komitmen serius dari pemimpin kedua negara untuk kembali ke meja perundingan.
Ancaman penggunaan kekuatan militer, terlebih yang melibatkan senjata nuklir, semestinya tidak dijadikan alat dalam menyelesaikan konflik. Dunia menginginkan perdamaian dan kestabilan, bukan ketakutan dan kehancuran.
Demi kepentingan bersama, langkah konkret untuk menurunkan ketegangan harus segera dilakukan. Kesadaran akan potensi bencana global akibat konflik ini harus menjadi dasar bagi semua pihak untuk bertindak bijak. (*)