Beirut EKOIN.CO – Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali meningkat setelah pemimpin Hizbullah, Sheikh Naim Qassem, mengeluarkan ancaman terbuka terhadap Israel. Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Selasa, 5 Agustus 2025, Qassem menegaskan bahwa pihaknya siap meluncurkan rudal ke wilayah Israel jika serangan militer negara itu terhadap Lebanon terus berlanjut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ancaman itu dilontarkan Qassem dalam konteks meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat terhadap Lebanon agar melucuti persenjataan Hizbullah. Ia menyatakan bahwa segala bentuk agresi dari Israel akan direspons dengan kekuatan penuh, dan sistem pertahanan Israel tidak akan mampu menahan serangan balasan tersebut.
“Pertahanan ini akan menyebabkan rudal jatuh ke dalam entitas Israel, dan semua keamanan yang telah mereka bangun selama delapan bulan akan runtuh dalam waktu satu jam,” ujar Qassem seperti dikutip dari Al Arabiya, Rabu 6 Juli 2025.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Hizbullah masih memiliki kendali signifikan dalam dinamika militer di Lebanon. Sementara itu, kabinet Lebanon menggelar pertemuan guna membahas masa depan persenjataan Hizbullah, yang menjadi fokus dalam negosiasi antara Beirut dan Washington.
Amerika Serikat terus mendesak pemerintah Lebanon untuk segera melucuti Hizbullah. Sebagai imbalan, AS menjanjikan penghentian serangan militer Israel, penarikan pasukan dari lima titik di wilayah selatan Lebanon, serta bantuan rekonstruksi pascakonflik.
Hizbullah Tolak Pelucutan Senjata
Menanggapi tawaran tersebut, Sheikh Naim Qassem menolak keras intervensi Amerika Serikat. Ia menegaskan bahwa pembahasan soal pelucutan senjata tidak akan terjadi sebelum Israel menghentikan seluruh agresinya terhadap Lebanon.
“Selesaikan dulu masalah agresi (Israel), lalu kita akan membahas masalah persenjataan,” tegas Qassem. Ia juga menuduh adanya tekanan dari pihak asing yang memicu pembahasan pelucutan senjata di dalam negeri Lebanon.
Qassem menilai desakan internasional tersebut sebagai “badai yang dipicu oleh perintah eksternal,” dan memperingatkan agar pemerintah Lebanon tidak membuang waktu untuk memenuhi tuntutan yang berasal dari luar negeri.
Dalam kesempatan itu, Qassem untuk pertama kalinya membeberkan jumlah korban dari konflik sebelumnya. Ia menyebut sekitar 5.000 pejuang Hizbullah tewas, sementara 13.000 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan militer yang berlangsung hingga gencatan senjata pada November tahun lalu.
Meskipun mengalami kerugian besar, Qassem menegaskan bahwa kekuatan militer Hizbullah tidak melemah. Ia menyatakan bahwa pasukannya tetap siap untuk menghadapi perang baru jika kondisi memaksa.
“Para pejuang kami siap melakukan pengorbanan terberat,” ucapnya dengan nada serius.
Konvoi dan Demonstrasi Kekuatan
Setelah pidato tersebut, puluhan pendukung Hizbullah melakukan konvoi di Beirut selatan. Mereka membawa bendera kuning khas kelompok itu sebagai simbol perlawanan, sekaligus menunjukkan bahwa Hizbullah masih memiliki dukungan kuat dari sebagian warga Lebanon.
Konvoi itu memicu kekhawatiran baru akan potensi pecahnya konflik bersenjata skala besar antara Hizbullah dan Israel. Ketegangan di perbatasan Israel-Lebanon juga dilaporkan meningkat, dengan sejumlah pasukan Israel ditempatkan di titik-titik strategis.
Negosiasi damai antara Lebanon dan Amerika Serikat yang dimulai sejak Juni 2025 belum menunjukkan kemajuan signifikan. Washington bahkan dikabarkan mulai kehilangan kesabaran karena belum adanya komitmen terbuka dari pihak Lebanon untuk menindaklanjuti proses pelucutan senjata Hizbullah.
Sejumlah pejabat Lebanon dikabarkan tengah mendapat tekanan kuat dari Washington agar segera membuat keputusan politik yang memungkinkan keberlanjutan dialog damai. Namun, situasi politik dalam negeri Lebanon disebut masih terlalu rapuh untuk menghasilkan keputusan penting.
Sementara itu, Israel belum mengeluarkan pernyataan resmi menanggapi ancaman Qassem. Namun sejumlah media lokal melaporkan bahwa Israel telah meningkatkan kesiagaan militernya, termasuk memperkuat sistem pertahanan rudal Iron Dome di wilayah utara.
Ketegangan terbaru ini dikhawatirkan dapat memperburuk kondisi kemanusiaan di Lebanon, yang saat ini masih dalam proses pemulihan pascaperang tahun lalu. Bantuan internasional pun dilaporkan terhambat akibat ketidakstabilan politik dan keamanan di negara tersebut.
Masyarakat sipil Lebanon menjadi pihak yang paling terdampak akibat situasi ini. Sejumlah organisasi kemanusiaan menyerukan semua pihak untuk menahan diri dan menghindari eskalasi konflik demi menjaga keselamatan warga.
Di sisi lain, komunitas internasional mendesak agar Israel dan Hizbullah kembali mematuhi gencatan senjata yang telah disepakati tahun lalu, serta melanjutkan perundingan damai secara inklusif.
ancaman perang baru di Lebanon menjadi ujian berat bagi kestabilan Timur Tengah, terutama di tengah dinamika geopolitik global yang kian kompleks. Situasi ini memperlihatkan bahwa perdamaian di wilayah tersebut masih sulit tercapai tanpa komitmen bersama dari semua pihak yang terlibat.
Diperlukan pendekatan diplomatik yang konsisten dan tidak berpihak agar konflik tidak kembali pecah. Masyarakat internasional juga harus memperkuat tekanan agar proses perundingan dapat berjalan secara adil.
Selain itu, pemerintah Lebanon harus mengambil langkah strategis untuk meredakan ketegangan tanpa mengorbankan stabilitas dalam negeri. Keterlibatan negara-negara kawasan pun penting untuk menjaga keseimbangan kekuatan.
Adapun upaya pelucutan senjata sebaiknya dilakukan melalui mekanisme hukum yang disepakati bersama, bukan melalui paksaan eksternal. Penanganan isu ini harus memperhatikan kedaulatan Lebanon dan hak semua warga untuk hidup aman.
Pemerintah dan kelompok bersenjata di Lebanon harus menyadari bahwa konflik hanya akan membawa penderitaan bagi rakyat. Dialog dan kompromi menjadi jalan terbaik menuju perdamaian jangka panjang. (*)