Jakarta, EKOIN.CO – Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri resmi mencegah Halim Kalla, adik kandung Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, bepergian ke luar negeri dalam kaitannya dengan penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.
Langkah pencegahan ini juga diberlakukan terhadap mantan Direktur Utama PLN periode 2008–2009, Fahmi Mochtar, yang turut menjadi tersangka dalam kasus serupa. Total, ada empat orang yang kini ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kortas Tipikor Polri.
Kakortas Tipikor Polri, Irjen Cahyono Wibowo, mengonfirmasi bahwa penyidik telah mengajukan permohonan pencegahan ke luar negeri kepada pihak Imigrasi. “Kami juga akan mengeluarkan pencegahan kepergian keluar negeri,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (7/10/2025).
Empat Tersangka Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Selain Halim Kalla dan Fahmi Mochtar, dua tersangka lain yang turut ditetapkan adalah RR, Direktur PT BRN, serta HYL, Direktur Utama PT Praba. Keempatnya diduga terlibat dalam praktik korupsi pada proyek strategis nasional PLTU 1 Kalimantan Barat yang dimulai sejak 2008.
Menurut Cahyono, penyidikan menemukan indikasi kuat adanya permufakatan antara pejabat PLN dan pihak swasta sebelum proses lelang dimulai. “Ada kesepakatan untuk memastikan PT BRN keluar sebagai pemenang tender,” ungkapnya.
Dugaan praktik kolusi itu muncul setelah panitia pengadaan PLN disebut meloloskan konsorsium BRN–Alton–OJSC, meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis. Bahkan, dua perusahaan yang disebut tergabung dalam konsorsium, yakni Alton dan OJSC, diduga tidak pernah benar-benar terlibat.
Proyek Macet dan Aliran Dana Diduga Ilegal
Cahyono menjelaskan bahwa sebelum penandatanganan kontrak pada 2009, KSO BRN telah mengalihkan pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan rekening proyek, dengan kesepakatan pemberian imbalan kepada pihak PT BRN. “Ini menyalahi ketentuan dan menjadi dasar penyidik mendalami adanya aliran dana yang tidak sah,” tegasnya dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
Proyek yang semula dijadwalkan rampung pada Februari 2012 itu ternyata hanya mencapai 57 persen. Meski kontraknya telah diperpanjang hingga 10 kali sampai 31 Desember 2018, progres pembangunan baru mencapai 85,56 persen. Penyidik menduga keterlambatan ini berkaitan erat dengan penyimpangan dana dan lemahnya komitmen kontraktor terhadap kewajiban finansial proyek.
“Diduga ada aliran atau transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek ke para tersangka dan pihak lainnya secara tidak sah,” ujar Cahyono menambahkan.
Dari hasil penyidikan awal, penyidik Kortas Tipikor Polri kini tengah menelusuri arus uang proyek dan kemungkinan keterlibatan pihak lain. Sementara itu, Polri juga telah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung total kerugian negara akibat proyek PLTU yang mangkrak tersebut.
Selain mengajukan pencegahan ke luar negeri, penyidik juga menyiapkan agenda pemeriksaan tambahan terhadap para tersangka untuk menguatkan alat bukti yang telah dikumpulkan.
Cahyono menegaskan, penyidik berkomitmen menuntaskan kasus ini secara transparan. “Kami akan dalami seluruh unsur perbuatan pidana, termasuk pihak-pihak yang diduga menikmati hasil dari proyek ini,” katanya.
Kasus PLTU Kalbar menjadi satu dari beberapa proyek besar di sektor energi yang tengah disorot publik karena diduga melibatkan praktik korupsi dalam proses pengadaan dan pembiayaannya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak keluarga Halim Kalla maupun manajemen PT BRN terkait tuduhan tersebut. Namun, publik berharap proses hukum berjalan adil dan terbuka, tanpa intervensi dari pihak mana pun. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di:
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v