Teheran EKOIN.CO – Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengungkapkan dirinya menjadi sasaran upaya pembunuhan oleh Israel saat⁸ konflik bersenjata antara Iran dan Israel berlangsung selama 12 hari pada pertengahan Juni 2025. Pernyataan itu disampaikan dalam wawancara bersama tokoh media asal Amerika Serikat, Tucker Carlson, yang dirilis pada Senin, 7 Juli 2025.
Pezeshkian menyatakan bahwa serangan tersebut terjadi hanya dua hari sebelum pertemuan yang telah dijadwalkan dengan pihak Amerika Serikat. Pertemuan itu bertujuan membahas perundingan nuklir guna mencapai kesepakatan terkait program atom Iran.
“Ya, mereka (Israel) memang mencoba. Mereka bertindak sesuai dengan itu, tetapi mereka gagal,” kata Pezeshkian kepada Tucker Carlson dalam wawancara tersebut.
Ia menegaskan bahwa pelaku utama dari upaya pembunuhan bukanlah Amerika Serikat, melainkan Israel. Presiden Iran menjelaskan bahwa saat itu dirinya sedang berada dalam sebuah pertemuan ketika lokasi pertemuan tersebut menjadi target serangan.
“Saya sedang dalam sebuah pertemuan… mereka mencoba membombardir daerah tempat kami mengadakan pertemuan itu,” ujar Pezeshkian, menggambarkan situasi yang terjadi saat serangan tersebut dilancarkan.
Ketegangan Diplomatik dan Serangan Terkoordinasi
Dalam pernyataannya, Pezeshkian menyoroti masalah kepercayaan antara Iran dan Amerika Serikat yang menurutnya menjadi hambatan besar dalam proses perundingan. Ia menyatakan bahwa keterlibatan AS dalam serangan ke situs nuklir Iran turut memperparah kondisi tersebut.
Lebih lanjut, Pezeshkian menyampaikan kritik terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menurutnya sengaja mendorong Amerika Serikat untuk terlibat langsung dalam konflik Iran-Israel. Ia menyampaikan kekhawatiran jika AS terus terseret dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.
“Presiden Amerika Serikat, Tn. Trump, cukup mampu untuk membimbing kawasan itu menuju perdamaian dan masa depan yang lebih cerah serta menempatkan Israel pada tempatnya. Atau masuk ke dalam lubang, lubang yang tak berujung. Jadi, terserah presiden Amerika Serikat untuk memilih jalan mana,” tutur Pezeshkian.
Konflik antara Iran dan Israel pecah pada Jumat, 13 Juni 2025, saat Israel melakukan serangan mendadak ke wilayah Iran. Serangan itu memicu respons balasan dari Iran berupa peluncuran rudal dan drone bersenjata yang diarahkan ke berbagai lokasi strategis di wilayah Israel.
Sebagai sekutu utama Israel, Amerika Serikat ikut ambil bagian dalam serangan terhadap Iran. Serangan udara AS menargetkan tiga fasilitas nuklir utama Iran yakni Natanz, Fordow, dan Isfahan.
AS Ajak Israel Berdamai, Iran Menyerang Pangkalan Militer AS
Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik itu justru memperburuk kondisi keamanan kawasan. Tidak lama setelah serangan ke fasilitas nuklir, Iran membalas dengan menyerang pangkalan militer AS yang berada di Qatar menggunakan rudal.
Serangan balasan dari Iran terhadap fasilitas militer AS memperlihatkan eskalasi konflik yang lebih luas. Pemerintah Iran menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah respons atas intervensi militer langsung yang dilakukan oleh AS terhadap instalasi penting milik mereka.
Setelah serangkaian serangan timbal-balik, Presiden AS Donald Trump akhirnya mengumumkan gencatan senjata antara Iran dan Israel pada Selasa, 24 Juni 2025. Upaya ini dinyatakan sebagai bagian dari inisiatif diplomatik untuk meredakan konflik yang telah menelan korban dan memicu ketegangan regional.
Dalam unggahan di laman Truth Social, Trump menyampaikan bahwa pihaknya akan berusaha bekerjasama dengan semua pihak untuk menyelesaikan perang dan mencari solusi damai yang permanen.
Pada Senin, 7 Juli 2025, Trump juga menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih. Pertemuan tersebut diyakini membahas langkah-langkah konkret guna mengakhiri konflik dan mendorong dialog antara pihak yang bertikai.
Walau belum ada rincian isi pembicaraan antara Trump dan Netanyahu yang diumumkan secara terbuka, namun berbagai pihak berharap pertemuan itu menjadi awal dari upaya diplomatik lanjutan untuk meredakan ketegangan.
Sementara itu, Iran masih menekankan bahwa pihaknya tidak akan kembali ke meja perundingan kecuali ada jaminan bahwa wilayah dan fasilitas mereka tidak lagi menjadi target serangan dari negara asing.
Pezeshkian juga menekankan pentingnya membangun kembali kepercayaan antara Iran dengan kekuatan global, termasuk Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa tanpa kepercayaan, semua upaya perdamaian akan sia-sia.
Pernyataan terbuka Pezeshkian tentang upaya pembunuhan ini menambah daftar panjang ketegangan antara Israel dan Iran yang terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir.
Serangan langsung terhadap Presiden Iran menunjukkan bahwa dinamika konflik kini melampaui batas militer konvensional dan mulai menyasar target politik.
Pemerintah Iran mendesak komunitas internasional untuk turut mengutuk tindakan Israel, yang menurut mereka telah melanggar prinsip-prinsip kedaulatan negara dan hukum internasional.
Hingga saat ini, pihak Israel belum memberikan tanggapan resmi atas tuduhan dari Pezeshkian tersebut. Sementara AS pun belum merespons secara langsung pernyataan Presiden Iran mengenai lokasi dan waktu percobaan pembunuhan.
Sebagian analis memperkirakan konflik serupa bisa saja terulang jika tidak ada pendekatan diplomatik yang berkelanjutan dari semua pihak yang berkepentingan.
Melihat eskalasi konflik ini, sangat penting bagi semua pihak untuk kembali mengedepankan jalur diplomasi, bukan kekuatan militer. Penargetan tokoh negara bukan hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga dapat memicu konflik yang lebih luas dan tidak terkendali. Komunitas global perlu memperkuat mekanisme mediasi yang adil dan transparan agar ketegangan dapat dikendalikan.
Iran dan Israel sebaiknya segera membuka ruang komunikasi yang konstruktif. Tanpa adanya dialog yang jujur dan terbuka, perdamaian hanya akan menjadi wacana tanpa hasil konkret. Kepentingan rakyat di kedua negara harus menjadi prioritas, bukan ambisi politik sesaat.
Amerika Serikat, sebagai negara berpengaruh, juga dituntut untuk memainkan peran sebagai penengah, bukan justru memperkeruh suasana. Keterlibatan dalam konflik militer secara langsung hanya akan memperpanjang penderitaan dan instabilitas kawasan.
Krisis kepercayaan antara Iran dan AS bisa diperbaiki jika ada komitmen nyata untuk menghormati kedaulatan masing-masing pihak. Langkah kecil seperti pengakuan atas kesalahan masa lalu atau transparansi dalam perundingan bisa menjadi awal membangun kepercayaan kembali.
Sebagai penutup, masyarakat internasional harus mengedepankan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam merespons konflik ini. Perdamaian tidak akan terwujud selama satu pihak terus dibiarkan bertindak tanpa akuntabilitas. Kini saatnya dunia bergerak bersama, bukan saling menyudutkan.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v