Malang EKOIN.CO – Dua dokter asal Indonesia, Dr. dr. Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat, M.Kes., MMR., Sp.OT, dan Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An-TI, Subsp.M.N.(K), FIPP, menjalani misi kemanusiaan di Gaza, Palestina, selama hampir tiga pekan. Mereka bertugas di tengah krisis kemanusiaan yang parah, menyaksikan langsung kelaparan, kehancuran, dan trauma warga, namun juga ketegaran yang luar biasa. Keduanya tergabung dalam tim relawan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang berkoordinasi dengan Rahmah Worldwide.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Misi ini berhasil dilakukan meskipun banyak relawan dan tenaga medis lain kesulitan masuk ke wilayah Gaza. Mereka bertugas di Rumah Sakit Nasr dan Rumah Sakit Eropa, dua fasilitas medis yang masih beroperasi di tengah ancaman bom dan peluru. Selama berada di sana, keduanya bekerja dalam kondisi minim alat, obat, dan pasokan makanan.
Dalam rilis Universitas Brawijaya (UB), Dr. Kuntadi mengatakan, “Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Di Gaza, bahkan jika tidak bisa membantu secara medis, kehadiran pun bisa saja menjadi penghibur bagi mereka yang kehilangan.”
Kondisi medis di Gaza yang memprihatinkan
Kuntadi mengaku, selama hampir 40 tahun berkarier sebagai dokter, belum pernah ia menyaksikan situasi seburuk di Gaza. Anak-anak kecil tergeletak di lantai rumah sakit, tubuh penuh luka, napas tersengal-sengal, dan minim perawatan. Banyak dari mereka kekurangan protein karena asupan gizi hampir tidak ada.
Ristiawan turut menggambarkan kondisi rumah sakit yang mengalami lonjakan pasien hingga 250 persen dari kapasitas normal. Sebagian besar bangunan rusak, termasuk blok hemodialisis yang hancur akibat serangan bom. Pasien terpaksa dirawat di tenda-tenda darurat di sekitar rumah sakit.
Minimnya peralatan medis memaksa mereka menggunakan obat dan bius jenis lama yang jarang dipakai. “Standar medis yang biasa kami jalankan tak bisa diterapkan sepenuhnya. Banyak prosedur harus dilakukan dengan alat seadanya,” kata dr. Ristiawan.
Dentuman bom dan kepulan asap menjadi latar sehari-hari mereka. Namun, tekad membantu warga Gaza membuat keduanya bertahan dalam situasi berisiko tinggi. Luka fisik akibat perang bukanlah satu-satunya masalah. Kelaparan masif menjadi pemandangan yang menyayat hati.
Banyak tenaga medis pingsan karena tidak makan selama dua hari. Salah satu dokter spesialis bahkan harus diinfus, sementara anaknya menangis semalaman karena lapar. “Bahkan pernah satu permen kopiko kami bagi ke dokter di sana, dan mereka menerimanya dengan penuh syukur,” ujar Ristiawan.
Keduanya mengaku terbiasa menghadapi kondisi darurat, tetapi rasa sedih tetap sulit dibendung. “Hingga semalam saya menangis. Kami cuma dua minggu di sana, tapi mereka sudah bertahun-tahun hidup dalam situasi ini,” tambahnya.
“Hungry but not angry”
Salah satu momen yang membekas di ingatan Ristiawan adalah saat melihat kerumunan warga sipil kurus keluar dari lorong bangunan, lalu meminta makanan di pinggir jalan. “Mereka lapar, tapi tidak kasar. Hungry but not angry,” tuturnya.
Selama dua minggu di Gaza, mereka tidak pernah keluar dari rumah sakit kecuali untuk penjemputan dan pemulangan. Ancaman sniper membuat aktivitas di luar ruangan sangat berisiko. Mengambil foto atau membuka ponsel pun berbahaya.
Mereka juga berhati-hati menyebut nama organisasi. Semua gerakan diawasi militer dan memerlukan penyesuaian penuh terhadap situasi yang serba terbatas.
Kuntadi menegaskan, keberangkatan ke Gaza bukan keputusan mendadak. Keinginan untuk terlibat dalam misi kemanusiaan telah lama ia simpan. “Kematian sudah ditentukan. Kenapa harus takut? Takdir kita sudah tertulis sebelum lahir,” ujarnya.
Keduanya mengajak masyarakat Indonesia untuk tetap peduli pada kondisi Palestina. Bantuan tidak selalu harus berupa materi atau keahlian medis. Menurut mereka, kehadiran, doa, dan kepedulian pun dapat menjadi kekuatan bagi warga yang bertahan.
Dari Gaza, Kuntadi dan Ristiawan kembali ke tanah air dengan pelajaran tentang harapan, keikhlasan, dan keberanian. Pengalaman ini menjadi cermin bahwa profesi kedokteran bukan hanya soal keahlian, tetapi juga tentang kemanusiaan.
Kisah mereka membuktikan bahwa universitas bukan hanya tempat belajar, tetapi juga wadah pembentukan empati, keberanian, dan tanggung jawab global.
Mereka menutup cerita dengan harapan agar dunia tidak menutup mata terhadap penderitaan di Gaza. “Sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, itu akan berarti bagi mereka,” kata Kuntadi.
Kisah ini meninggalkan pesan mendalam bahwa kemanusiaan adalah bahasa universal yang tidak membutuhkan terjemahan.
Kuntadi dan Ristiawan kini kembali ke aktivitas mengajar di UB, namun pengalaman di Gaza akan selalu menjadi bagian dari hidup mereka.
misi ini menunjukkan bahwa di tengah keterbatasan, semangat kemanusiaan dapat melampaui rasa takut dan lapar.
Mereka membuktikan bahwa tekad yang kuat dapat mengalahkan ketidakmungkinan.
Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa harapan tetap hidup, bahkan di tengah reruntuhan.
Misi ini diharapkan menginspirasi generasi muda untuk peduli terhadap krisis kemanusiaan di manapun terjadi.
Semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa kemanusiaan selalu layak diperjuangkan. ( * )