Jakarta, EKOIN.CO – Kementerian Pekerjaan Umum (Kementerian PU) terus mendorong penerapan prinsip Bangunan Gedung Hijau (BGH) demi mendukung target nasional pengurangan emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan ini juga sejalan dengan Strategi PU 608 untuk menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di sektor konstruksi dan properti.
Menteri PU Dody Hanggodo menegaskan pentingnya efisiensi investasi sebagai strategi kunci. ICOR digunakan sebagai indikator pertumbuhan output ekonomi terhadap investasi. “Kami tidak hanya berbicara tentang efisiensi investasi, tetapi benar-benar turun ke lapangan untuk mengetahui penyebab utama tingginya ICOR,” ujarnya.
Dalam laporan The Global Status Report for Buildings and Construction 2022 dari United Nations Environment Programme (UNEP), sektor properti dan konstruksi diketahui menyumbang 37% emisi CO2 global. Emisi ini sebagian besar berasal dari konsumsi energi operasional gedung dan proses produksi material bangunan.
Untuk itu, infrastruktur dan bangunan harus menjadi bagian dari solusi penurunan emisi. Wakil Menteri PU Diana Kusumastuti menyampaikan bahwa penerapan Bangunan Gedung Hijau merupakan langkah konkret mendukung ekonomi rendah karbon. “Penerapan Bangunan Gedung Hijau (BGH) menjadi salah satu strategi nyata,” katanya di Jakarta, Sabtu (5/7/2025).
Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89% secara mandiri, dan hingga 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Target ini menjadi bagian dari agenda besar nasional menuju pembangunan berkelanjutan.
Regulasi dan Standar Hijau
Kementerian PU telah menerbitkan aturan terkait BGH dan Bangunan Gedung Cerdas (BGC), yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 dan Permen PUPR Nomor 21 Tahun 2021. Regulasi ini menetapkan standar teknis bagi seluruh bangunan yang akan dikembangkan.
Bangunan hijau wajib memenuhi standar efisiensi energi sebesar 25% dan efisiensi air minimal 10%. Penyesuaian ini harus dilakukan sejak tahap desain, konstruksi, hingga operasional. Upaya ini menjadi langkah penting dalam menciptakan ruang yang efisien dan berwawasan lingkungan.
Wamen Diana juga menjelaskan, pengurangan operational carbon dapat dilakukan dengan mengubah perilaku pengguna menjadi lebih hemat energi, serta menggunakan sumber energi terbarukan. Sementara pengurangan embodied carbon dapat dicapai lewat prinsip lean construction dan pemakaian material lokal.
“Teknologi juga sangat penting dalam penerapan standar BGH dan BGC. Salah satunya dengan penggunaan Building Information Modelling (BIM),” imbuh Diana. BIM memungkinkan simulasi efisiensi energi dan perencanaan konstruksi yang lebih akurat dan hemat sumber daya.
Kementerian PU secara aktif menggandeng pemangku kepentingan, termasuk Indonesia Property Management Association, agar terlibat langsung dalam pengembangan bangunan ramah lingkungan. Kolaborasi ini menjadi bagian dari upaya memperkuat ekosistem pembangunan rendah karbon.
Komitmen terhadap Perjanjian Iklim
Upaya penerapan prinsip BGH sejalan dengan ratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya terhadap pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor konstruksi dan bangunan.
Transformasi menuju gedung hijau dianggap tidak sekadar sebagai kebutuhan lingkungan, tetapi juga bagian dari transformasi ekonomi nasional. Dengan efisiensi investasi yang tinggi, sektor konstruksi diharapkan mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperbesar jejak karbon.
Langkah ini juga didorong oleh kebutuhan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di perkotaan. Kementerian PU percaya bahwa perubahan sistemik di sektor konstruksi dapat menjadi katalisator utama dalam transformasi hijau skala nasional.
Penerapan prinsip Bangunan Gedung Hijau merupakan strategi kunci dalam mendukung pertumbuhan ekonomi rendah karbon di Indonesia. Melalui pendekatan teknis, regulasi, dan kolaborasi lintas sektor, pemerintah berupaya menciptakan sektor konstruksi yang efisien dan berkelanjutan.
Dengan regulasi yang jelas serta penerapan standar efisiensi energi dan air, pemerintah mendorong perubahan fundamental sejak tahap awal perencanaan bangunan. Teknologi seperti BIM juga menjadi alat penting untuk mendukung efisiensi dan akurasi konstruksi yang ramah lingkungan.
Keterlibatan pemangku kepentingan menjadi aspek penting dalam menciptakan ekosistem bangunan hijau nasional. Langkah ini memperkuat komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris dan mendorong transformasi sektor properti yang adaptif terhadap tantangan iklim dan ekonomi masa depan.(*)