JAKARTA, EKOIN.CO – Pratama Dany Prihandoko, atlet Kempo peraih emas SEA Games, kini dikenal luas bukan sekadar sebagai juara di arena pertandingan. Ia adalah sosok inspiratif yang berhasil menyeimbangkan prestasi olahraga dengan dunia akademik, sebuah jalan yang membawanya meraih beasiswa LPDP. Perjalanan pemuda kelahiran 1990 ini telah terukir selama lebih dari 21 tahun bersama seni bela diri Shorinji Kempo, sebuah seni bela diri asal Jepang yang mengombinasikan pukulan, tendangan, bantingan, dan kuncian, di samping filosofi pembentukan karakter. Berbagai kejuaraan bergengsi, dari tingkat dojo hingga level dunia, telah ia lalui. Namun, baginya, meraih podium bukan akhir dari segalanya. Ada “pertandingan” lain yang tak kalah penting, yaitu perjuangan di bidang pendidikan.
Semua berawal dari Dojo Rawasari, GOR Cempaka Putih, Jakarta, tempat Dany hingga kini rutin melatih. “Saya latihan dari kecil di sini. Dari 2004, ternyata sudah 21 tahun ikut Kempo,” kenangnya saat ditemui. Kisah ini bermula ketika orang tua Dany semula mendaftarkannya ke sekolah sepak bola. Akan tetapi, minat Dany terhadap sepak bola terbilang kecil, ditambah ia pernah mengalami patah tulang ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Hal itu membuatnya tidak diizinkan untuk melakukan terlalu banyak aktivitas fisik.
Baca juga : BNI Salurkan Bantuan Mendesak untuk Korban Banjir
Pada masa SMP, seorang teman memperkenalkan Kempo kepadanya. Ketertarikannya langsung tumbuh. “Kok ini olahraganya menarik, ada pukulan, tendangan, bantingan, dan kuncian. Dari situ saya mulai latihan,” ungkapnya, seperti dikutip dari situs Media Keuangan. Awalnya, ia berlatih secara diam-diam karena takut dilarang oleh orang tuanya. Meskipun latihan pertamanya membuat ia pucat dan muntah, tekadnya untuk terus berjuang terbayar ketika ia berhasil meraih medali emas dalam kejuaraan antar-dojo. Dengan bangga, ia menunjukkan medali tersebut kepada orang tuanya, dan akhirnya mendapat restu untuk melanjutkan.
Bagi Dany, Kempo lebih dari sekadar teknik bela diri fisik. Ia memandang Kempo sebagai filosofi hidup. “Risikonya jelas, bisa hidung patah, gigi pecah, lengan lebam. Tapi dengan latihan yang baik, risiko bisa dikurangi,” tuturnya, seraya menambahkan, “Lebih dari itu, Kempo membentuk pribadi kita.” Dari sanalah ia belajar disiplin, keberanian, dan ketahanan mental, nilai-nilai yang terus ia genggam hingga saat ini. Filosofi ini membantunya melewati berbagai tantangan di luar arena, termasuk saat harus menyeimbangkan latihan intensif dengan kewajiban akademis.

Mengukir Jejak Emas di Panggung Internasional
Perjalanan internasional Dany dimulai pada tahun 2009. Saat itu, ia meraih posisi runner-up pada Kejuaraan Dunia Sabuk Hitam Dan-1 yang diselenggarakan di Bali. Prestasinya terus menanjak, dan setahun kemudian ia dipercaya untuk bergabung dengan tim nasional Kempo Indonesia guna menghadapi SEA Games 2011. Jadwalnya pun menjadi sangat padat, dan ia menjalani hari-hari yang penuh dengan latihan keras. “Tahun 2011–2013 benar-benar sibuk. Tidak ada jeda sama sekali,” ungkapnya. Kesibukan ini bahkan sempat mengganggu perkuliahannya, hingga indeks prestasinya anjlok ke 1,7. Meskipun demikian, ia bertekad untuk menyelesaikan studinya tepat waktu, dan pengorbanannya membuahkan hasil.
Pada SEA Games 2011, ia berhasil mempersembahkan medali emas di nomor pasangan putra, sebuah pencapaian yang membanggakan bagi bangsa. Tidak berhenti sampai di situ, ia juga meraih predikat atlet terbaik pada tahun 2012 dan kembali membawa pulang medali emas di nomor beregu putra pada SEA Games 2013 di Myanmar. Rentetan prestasi ini membuktikan ketangguhan dan dedikasinya sebagai seorang atlet Kempo. Ia mampu membawa harum nama Indonesia di kancah internasional, menunjukkan bahwa kerja keras dan ketekunan merupakan kunci untuk mencapai puncak.

Transisi dari Arena ke Akademisi
Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 menjadi laga terakhir bagi karier kompetitif Dany. Usai meraih berbagai medali di tingkat nasional dan internasional, ia merasa perlu mencari tantangan baru. “PON sudah, SEA Games sudah, Kejuaraan Dunia juga sudah. Apa lagi yang harus saya capai?” katanya, menggambarkan titik balik dalam hidupnya. Dari sana, ia mulai mengalihkan fokusnya untuk dapat memberikan manfaat yang lebih luas melalui jalur pendidikan. Berbekal pengalaman pribadinya, ia pun ingin mendalami olahraga sebagai sarana untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Ia kemudian mengajukan proposal program pencegahan diabetes melalui aktivitas fisik kepada LPDP. Setelah beberapa kali mengalami kegagalan, akhirnya pada tahun 2019, ia diterima dan berkesempatan untuk melanjutkan studi di Inggris. Ia menempuh pendidikan di University of Edinburgh, mengambil jurusan Physical Activity for Health. “Jadi atlet itu tidak berhenti di pertandingan. Banyak yang lupa menang dalam hidup. Pendidikanlah yang membantu saya menyadari transisi itu,” tutur Dany, yang dikutip dari Media Keuangan. Pendidikan memberinya wawasan baru bahwa kemenangan sejati tidak hanya diraih di atas matras pertandingan, tetapi juga dalam kehidupan, dengan terus belajar dan berkembang.
Setelah menyelesaikan studinya di Edinburgh, Dany kembali ke Tanah Air. Ia sempat bekerja di sebuah platform kesehatan digital sebelum akhirnya bergabung dengan KONI DKI Jakarta. Di sana, ia mengemban peran ganda sebagai pelatih sekaligus sports program specialist. Saat ini, fokus utamanya adalah mempersiapkan tim PON DKI Jakarta untuk ajang tahun 2028. Ia mengakui, tugas sebagai pelatih membawa tantangan tersendiri. “Jadi pelatih stresnya lebih tinggi daripada jadi atlet. Waktu jadi atlet saya tidak pernah kena maag, tapi sekarang sering minum obat lambung,” candanya.
Namun, di balik candaan tersebut, ia melihat tugasnya jauh lebih luas. Ia tidak hanya melatih teknik, tetapi juga menjadi mentor, kakak, dan bahkan figur orang tua bagi anak didiknya. “Seperti menempa pedang, kita harus pilih material terbaik, bentuk, lalu asah sampai ke puncak performa,” jelasnya, menggambarkan dedikasinya dalam membentuk generasi baru atlet yang tidak hanya tangguh secara fisik, tetapi juga memiliki karakter yang kuat.
Ia memiliki target pribadi untuk membawa anak-anak didiknya menjadi juara umum PON 2028. Di samping itu, ia juga memiliki mimpi untuk mengembangkan olahraga kesehatan, khususnya Kempo, di kampung halamannya, Sukabumi. Dany menekankan betapa pentingnya membangun generasi yang sehat untuk menyongsong masa depan Indonesia Emas. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Dua-duanya harus seimbang,” katanya, “Kalau jiwa baik tapi fisik lemah, bagaimana bisa mencapai Indonesia Emas?”
Sebagai penutup, ia berpesan kepada para atlet muda agar tidak berhenti berjuang setelah turun dari podium. Menurutnya, podium adalah awal dari perjalanan yang sebenarnya. Keberhasilan di arena olahraga harus dijadikan motivasi untuk terus berprestasi di bidang lain, terutama pendidikan. Pendidikan adalah kunci yang membuka pintu-pintu baru dalam kehidupan. Dengan pendidikan, atlet bisa menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi masyarakat, tidak hanya mengandalkan popularitas sesaat dari gelar juara.
Ia juga menekankan bahwa menjadi seorang atlet tidak hanya tentang memenangkan pertandingan, tetapi juga tentang memenangkan kehidupan itu sendiri. Hal tersebut diwujudkan dengan terus belajar, berkarya, dan memberikan dampak positif. Dengan demikian, setiap atlet dapat mengukir prestasi yang lebih abadi dan bermakna. Pada akhirnya, sejalan dengan pepatah yang sering ia sampaikan, “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” ia berharap para atlet muda dapat menjadi teladan yang menginspirasi banyak orang.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v