Yerusalem ,EKOIN.CO – Perjuangan panjang Palestina untuk meraih kemerdekaan belum membuahkan hasil hingga kini, meskipun lebih dari 140 negara telah memberikan pengakuan. Kompleksitas sejarah, politik global, dan realitas di lapangan menjadi faktor utama yang menghambat lahirnya negara Palestina yang berdaulat.
Bergabung di WA Channel EKOIN untuk berita terbaru.
Proses menuju kemerdekaan Palestina berakar dari pembagian wilayah oleh PBB pada tahun 1947. Saat itu, PBB mengusulkan dua negara: satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab, dengan Yerusalem sebagai zona internasional. Israel menerima rencana itu, tetapi pihak Arab menolaknya karena menganggap pembagian tidak adil.
Ketika Israel memproklamasikan kemerdekaan pada 14 Mei 1948, pecah Perang Arab–Israel. Israel memenangkan perang dan menguasai wilayah lebih luas dari yang dialokasikan PBB. Palestina kehilangan kesempatan membentuk negara, sementara Tepi Barat dikuasai Yordania dan Gaza berada di bawah kendali Mesir.
Perang Enam Hari pada 1967 menjadi titik penting lainnya. Israel merebut Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza. Wilayah yang menjadi harapan negara Palestina pun berada di bawah pendudukan militer Israel, memicu kecaman internasional.
PBB melalui Resolusi 242 menyerukan penarikan Israel dari wilayah pendudukan, namun resolusi tersebut tidak dijalankan sepenuhnya. Hingga kini, pemukiman Yahudi di Tepi Barat terus bertambah meski dinyatakan ilegal oleh hukum internasional.
Upaya damai sempat muncul lewat Kesepakatan Oslo pada 1993–1995. Perjanjian itu memberi Palestina otonomi terbatas dengan janji pembicaraan status final. Namun isu besar seperti Yerusalem, perbatasan, pemukiman, pengungsi, dan keamanan tidak terselesaikan.
Situasi semakin rumit akibat perpecahan internal Palestina. Dua faksi besar, Fatah dan Hamas, saling bersaing memperebutkan legitimasi. Fatah mengendalikan Tepi Barat melalui Otoritas Palestina, sementara Hamas memegang kendali di Gaza sejak 2007.
Perpecahan ini membuat Palestina tidak memiliki suara tunggal dalam perundingan internasional. Banyak pihak menilai hal ini melemahkan posisi Palestina di meja negosiasi.
Dari sisi geopolitik, dukungan besar Amerika Serikat kepada Israel menjadi hambatan utama. AS kerap menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk menggagalkan resolusi yang menguntungkan Palestina.
Sebaliknya, dukungan luas datang dari negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang mengakui Palestina sebagai negara. Namun, tanpa persetujuan negara-negara Barat berpengaruh, Palestina sulit menjadi anggota penuh PBB.
Di lapangan, kondisi wilayah Palestina terpecah. Tepi Barat berada di bawah kontrol parsial Otoritas Palestina, tetapi akses, keamanan, dan perbatasan tetap dikendalikan Israel. Gaza berada di bawah blokade ketat Israel dan Mesir, menyebabkan krisis kemanusiaan berkepanjangan.
Yerusalem Timur, yang secara hukum internasional milik Palestina, telah dianeksasi Israel pada 1980 dan diklaim sebagai bagian dari ibu kota Israel. Langkah ini tidak diakui mayoritas dunia, tetapi tetap berlangsung.
Konflik bersenjata berkali-kali pecah, terutama di Gaza, memakan korban jiwa dan menghancurkan infrastruktur. Hal ini semakin menjauhkan upaya menuju kemerdekaan.
Meski demikian, perjuangan diplomasi tetap berjalan. Palestina berhasil menjadi negara pengamat non-anggota di PBB sejak 2012, membuka akses ke lembaga-lembaga internasional.
Langkah ini memungkinkan Palestina membawa isu pendudukan ke Mahkamah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional. Namun proses hukum internasional berjalan lambat dan penuh tekanan politik.
Bagi banyak rakyat Palestina, kemerdekaan bukan hanya soal pengakuan, tetapi juga soal kontrol penuh atas tanah, udara, dan perbatasan mereka. Tanpa itu, status kenegaraan dianggap belum nyata.
Pengamat menilai bahwa solusi dua negara masih mungkin terjadi, tetapi jendela peluangnya semakin sempit akibat terus berkembangnya pemukiman Israel dan ketidakpercayaan antar pihak.
Di sisi lain, sebagian kalangan mendorong solusi satu negara dengan kesetaraan hak bagi semua penduduk, namun opsi ini ditolak keras oleh pemerintah Israel.
Hingga kini, dunia internasional masih terbelah dalam melihat solusi terbaik. Sementara itu, rakyat Palestina terus hidup dalam ketidakpastian politik, ekonomi, dan keamanan.
Kemerdekaan Palestina tetap menjadi salah satu isu paling kompleks di diplomasi global abad ini. Butuh kompromi besar, kemauan politik, dan tekanan internasional yang konsisten untuk mewujudkannya.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v