Ambon EKOIN.CO – Pertikaian kembali mencuat di Ambon dengan latar belakang ketidakpuasan sosial, perbedaan identitas, hingga isu politik lokal. Situasi ini membuat kota yang pernah mengalami konflik besar pada 1999 itu masih dianggap rawan, meskipun sudah banyak upaya perdamaian dilakukan. Berlangganan WA Channel EKOIN di sini.
Menurut sejumlah laporan, faktor utama pertikaian di Ambon bukan semata soal agama, melainkan ketidakadilan sosial dan politik yang dirasakan masyarakat. Isu agama memang sering terbawa, namun tidak menjadi pemicu tunggal.
Akar Pertikaian di Ambon
Pertikaian yang berulang di Ambon kerap berawal dari insiden kecil yang berkembang menjadi konflik besar. Misalnya, keributan antarwarga yang seharusnya dapat diselesaikan secara damai justru membesar karena adanya provokasi dan isu lama yang belum selesai.
Laporan Crisis Group menyebut, luka lama akibat konflik 1999 hingga awal 2000-an masih memengaruhi relasi sosial antarwarga. Rasa curiga, trauma, dan ketidakadilan yang belum sepenuhnya diselesaikan membuat masyarakat mudah tersulut.
Isu RMS (Republik Maluku Selatan) juga masih menjadi faktor sensitif. Bagi sebagian kelompok, RMS menjadi simbol perlawanan, sedangkan bagi pihak lain dianggap ancaman terhadap keutuhan negara. Situasi ini memperumit upaya penyelesaian konflik ketika muncul pertikaian baru.
Selain itu, distribusi jabatan politik dan akses ekonomi yang dianggap tidak merata memperdalam rasa ketidakpuasan. Setelah era Reformasi 1998, sejumlah kelompok merasa terpinggirkan dalam pemerintahan daerah.
Respons Pemerintah dan Masyarakat
Pemerintah daerah dan aparat keamanan berulang kali menegaskan bahwa pertikaian di Ambon bukanlah konflik agama. “Peristiwa ini jangan dilihat sebagai benturan antaragama, karena sejatinya masalah sosial dan politik lebih dominan,” kata seorang pejabat yang dikutip dari laporan nasional.
Meski demikian, aparat keamanan kerap menghadapi tantangan berat. Tuduhan adanya perlakuan tidak adil dalam penegakan hukum memperburuk kepercayaan masyarakat. Respons yang dinilai lambat atau keras berlebihan kadang menambah ketegangan.
Lembaga swadaya masyarakat lokal berusaha memediasi pertikaian dengan pendekatan kultural dan agama. Dialog antar pemuka agama digencarkan untuk mencegah provokasi berkembang menjadi konflik besar.
Namun, catatan Human Rights Watch menyebut bahwa selama pertikaian berlangsung, warga sipil masih sering menjadi korban utama, baik kehilangan nyawa maupun harta benda. Hal ini menandakan belum tuntasnya rekonsiliasi di lapangan.
Kondisi sosial Ambon saat ini masih diwarnai ketidakpastian. Meski aktivitas warga berjalan normal, setiap insiden kecil berpotensi memicu pertikaian lebih besar bila tidak segera ditangani.
Pertikaian di Ambon menunjukkan bahwa luka lama konflik sosial tidak mudah sembuh hanya dengan waktu. Perlu langkah serius dan menyeluruh untuk menyelesaikan masalah mendasar, termasuk distribusi keadilan sosial dan politik.
Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam proses perdamaian agar tidak merasa terpinggirkan. Pemerintah daerah dan pusat perlu lebih transparan dalam kebijakan, sehingga tidak memunculkan kesan diskriminasi.
Selain itu, dialog antaragama harus terus diperkuat, bukan hanya di level elite, melainkan juga di kalangan akar rumput. Hal ini penting agar kepercayaan antarwarga dapat dipulihkan.
Aparat keamanan juga harus menunjukkan profesionalisme dan keadilan agar dipercaya oleh semua pihak. Penegakan hukum yang konsisten akan mengurangi ruang bagi provokasi berkembang.
Pada akhirnya, pertikaian di Ambon hanya bisa diakhiri jika ada komitmen kolektif antara pemerintah, masyarakat, dan tokoh agama untuk menjaga perdamaian secara berkelanjutan. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
?