Cirebon EKOIN.CO – Kisah perjuangan Kiai Abbas Buntet kembali mendapatkan sorotan dalam sebuah acara bedah buku berjudul “Dari Pesantren ke Medan Perang: Kiprah Kiai Abbas Buntet dalam Revolusi Surabaya 1945” karya Farid Wajdi dan Jajat Darojat. Acara ini digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon pada Kamis (21/8/2025), bertepatan dengan rangkaian Dies Natalis ke-60 kampus tersebut.
Acara tersebut menghadirkan civitas academica, para tokoh masyarakat, serta sejumlah ulama yang turut memberikan pandangan mengenai kiprah pejuang asal Cirebon tersebut. Bedah buku ini menjadi momen penting dalam mengenang kembali kontribusi Kiai Abbas Abdul Jamil, pengasuh Pesantren Buntet, yang tidak hanya mendidik santri tetapi juga ikut bertempur di garis depan perlawanan pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Baca juga : Kementerian Agama Luncurkan JDIH Kemenag Generasi Kedua
KH Asep Saifudin Chalim, putra dari sahabat sekaligus rekan seperjuangan Kiai Abbas, yaitu Kiai Achmad Chalim, turut memberikan kesaksian mengenai kiprah sang ulama. “Kiai Abbas adalah tokoh yang bukan hanya alim dalam ilmu agama, tapi juga pejuang sejati. Sejak muda, beliau sudah terlibat dalam Sumpah Pemuda dan mengusulkan Bahasa Indonesia masuk dalam kurikulum pesantren di Buntet,” ujarnya.
Menurut Asep, perhatian besar Kiai Abbas terhadap pendidikan mendorong dirinya bersama ayahnya mendirikan Perguruan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1938. Upaya tersebut disebutnya sebagai tonggak penting dalam perjuangan intelektual umat Islam Indonesia pada masa penjajahan.
Selain itu, Kiai Abbas dikenal sebagai tokoh yang menolak jalur diplomasi ketika Belanda berusaha kembali menancapkan kekuasaan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ia dengan tegas menolak negosiasi dan lebih memilih membakar semangat rakyat untuk turun ke medan perang.
Perjuangan Kiai Abbas di Medan Revolusi
“Perjuangannya sangat kuat dan menjadi motivasi umat Islam untuk berani melawan penjajah, hingga akhirnya kita bisa merdeka,” kata Asep. Pernyataan ini menegaskan bahwa Kiai Abbas bukan sekadar pengasuh pesantren, melainkan sosok yang membawa nilai keberanian dan patriotisme ke tengah masyarakat.
Dalam peristiwa 10 November 1945, keberanian Kiai Abbas tercatat dalam sejarah ketika beliau ikut memimpin barisan santri dan masyarakat Cirebon menuju Surabaya. Sikap tegasnya menolak diplomasi menjadi simbol kekuatan moral yang menyatukan rakyat melawan agresi pasukan asing.
Usep Abdul Matin, salah satu narasumber dalam bedah buku tersebut, menilai acara ini tidak hanya bernilai akademik, tetapi juga menjadi landasan penting untuk memperkuat usulan agar Kiai Abbas ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. “Beliau telah memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional. Buku ini adalah bagian dari pengakuan akademik dan masyarakat terhadap jasa besar Kiai Abbas dalam perjuangan kemerdekaan,” jelasnya.
Usep juga menyinggung konteks politik kala itu. Menurutnya, keputusan diplomasi yang ditempuh Presiden Soekarno lebih karena pertimbangan kekuatan militer Indonesia yang masih lemah. Namun, strategi tersebut berubah ketika melihat gelombang besar umat Islam yang siap berjihad di medan perang.
“Ketika umat Islam turun ke medan laga, Bung Karno melihat kekuatan sosial ini bisa menjadi kekuatan militer rakyat. Maka arah strategi pun berubah,” tambah Usep. Pandangan ini memperlihatkan bagaimana peran santri dan pesantren tidak dapat dipisahkan dari dinamika perjuangan nasional.
Apresiasi dari UIN Siber Syekh Nurjati
Rektor UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Prof Aan Jaelani, turut menyampaikan apresiasinya atas terselenggaranya acara tersebut. Menurutnya, bedah buku ini tidak hanya memperkuat pengabdian kampus terhadap sejarah lokal, tetapi juga memperkaya pemahaman generasi muda terhadap perjuangan tokoh-tokoh pesantren.
“Kami sangat meneladani semangat dan perjuangan Kiai Abbas Abdul Jamil. Beliau adalah tokoh penting di Cirebon yang tak hanya peduli pada pendidikan, tapi juga telah mengukir sejarah dalam perjuangan kemerdekaan bangsa,” tegas Prof Aan.
Ia menambahkan bahwa UIN Siber Syekh Nurjati memiliki komitmen untuk terus menghidupkan nilai-nilai perjuangan tokoh-tokoh pesantren dalam kegiatan akademik maupun sosial. Upaya ini dinilai penting agar generasi santri dan mahasiswa mampu menghubungkan nilai perjuangan dengan tantangan masa kini.
Dengan demikian, acara bedah buku ini tidak hanya menjadi momentum reflektif, melainkan juga langkah konkret untuk menjaga warisan sejarah. Peran pesantren yang sering dianggap hanya mencetak ulama, ternyata juga berperan besar dalam perjuangan politik dan kemerdekaan bangsa.
Melalui diskusi ini, tokoh masyarakat, akademisi, dan generasi muda diajak untuk memahami bahwa perjuangan bangsa tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari dedikasi tokoh-tokoh yang menyatukan agama, pendidikan, dan keberanian.
Kisah Kiai Abbas Buntet juga diharapkan mampu menginspirasi perjuangan modern, di mana semangat kebersamaan dan kecintaan pada tanah air tetap harus dihidupkan dalam konteks yang berbeda.
Sejarah perlawanan rakyat yang dipimpin ulama menjadi bukti bahwa pesantren memiliki peran penting dalam membentuk identitas bangsa. Oleh karena itu, bedah buku ini menegaskan pentingnya menjadikan kisah Kiai Abbas sebagai rujukan moral dan teladan bagi generasi masa kini.
Para peserta acara pun menyambut baik gagasan untuk mengusulkan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional. Dukungan ini dinilai akan memperkuat penghargaan terhadap kontribusi pesantren dalam perjalanan bangsa.
Diskusi yang berlangsung hangat tersebut akhirnya menegaskan kembali bahwa peran tokoh pesantren seperti Kiai Abbas tidak boleh terlupakan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Kisah perjuangan beliau akan terus dikenang sebagai bukti bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan juga benteng pertahanan moral dan nasionalisme bangsa Indonesia.
Sebagai penutup, refleksi dari acara ini memperlihatkan bahwa warisan Kiai Abbas harus terus dijaga melalui pendidikan, penelitian, dan penghormatan resmi dari negara. Langkah pengusulan sebagai Pahlawan Nasional menjadi penting agar generasi mendatang tetap mengenang dan meneladani kiprah beliau.
Nilai-nilai perjuangan yang diwariskan Kiai Abbas dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat luas dalam menghadapi tantangan global. Semangat keberanian, kecintaan pada tanah air, dan komitmen pada pendidikan adalah warisan yang tak ternilai.
Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk terus memperjuangkan agar Kiai Abbas mendapatkan tempat yang layak dalam sejarah bangsa. Penghargaan tersebut akan memperkaya kesadaran nasional akan kontribusi pesantren.
Dengan demikian, acara bedah buku di Cirebon ini bukan hanya sekadar diskusi akademik, melainkan langkah nyata dalam merawat ingatan kolektif bangsa. Keberanian dan dedikasi Kiai Abbas patut diteladani dalam mengisi kemerdekaan saat ini.
Semangat perjuangan ulama pesantren harus tetap hidup, tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga dalam praktik kehidupan sosial yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.
Warisan nilai perjuangan Kiai Abbas menjadi pijakan untuk menghadirkan Indonesia yang lebih kuat dan berdaya saing. Generasi muda dituntut untuk mewarisi keberanian beliau dalam membela bangsa, dengan cara yang relevan pada zamannya.
Dengan begitu, teladan Kiai Abbas Buntet akan terus abadi dalam sejarah bangsa sebagai simbol perjuangan ulama yang mencintai tanah air, mengutamakan pendidikan, dan berani menolak penjajahan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v