JAKARTA EKOIN.CO – Kesepakatan kerja sama antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengenai pengelolaan bersama Blok Ambalat menimbulkan reaksi panas dari sejumlah politisi di negara bagian Sabah, Malaysia. Keputusan ini diumumkan setelah pertemuan bilateral di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 27 Juni 2025, yang menandai langkah baru dalam upaya menyelesaikan sengketa maritim jangka panjang di wilayah Laut Sulawesi.
Blok Ambalat merupakan wilayah seluas sekitar 15.235 kilometer persegi yang diyakini menyimpan cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar. Wilayah ini telah lama menjadi titik sengketa antara Indonesia dan Malaysia sejak Negeri Jiran mengeluarkan Peta Malaysia 1979, yang secara sepihak mencakup dasar laut Ambalat ke dalam wilayahnya.
Kesepakatan Bersama Indonesia-Malaysia di Ambalat
Dalam konferensi pers bersama, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa kedua negara sepakat untuk bekerja sama secara ekonomi sambil menyelesaikan aspek hukum dari sengketa perbatasan. “Selagi kita menyelesaikan aspek hukumnya, kita akan memulai kerja sama ekonomi dalam apa yang kita sebut pengembangan bersama,” ucap Prabowo.
Prabowo menambahkan, kerja sama ini dilakukan agar potensi sumber daya yang ada bisa dieksplorasi bersama secara adil. Ia juga menekankan pentingnya penyelesaian damai demi kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah sengketa.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mendukung penuh langkah tersebut. Dalam pernyataannya, Anwar menegaskan bahwa tidak ada halangan bagi kedua negara untuk memulai kerja sama ekonomi di Ambalat, termasuk membentuk “otoritas pengembangan bersama”.
Anwar menyatakan, menunggu penyelesaian hukum yang bisa memakan waktu hingga dua dekade hanya akan menghambat kemajuan ekonomi kedua negara. “Jadi mari kita manfaatkan waktu ini untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi kedua negara dan membela nasib rakyat kita di wilayah yang cukup jauh dari perbatasan,” katanya.
Namun, reaksi berbeda datang dari Sabah. Sejumlah pemimpin politik di negara bagian tersebut menyampaikan ketidakpuasan mereka terhadap kesepakatan yang dianggap dibuat tanpa konsultasi dengan pemerintah lokal. Mereka menilai hal ini sebagai pengabaian terhadap kepentingan Sabah.
Reaksi Politik dari Negara Bagian Sabah
Wakil Ketua Menteri Sabah, Datuk Seri Jeffrey Kitingan, menyebut bahwa Anwar “berutang penjelasan kepada Sabah”. Ia menyayangkan keputusan tersebut dibuat tanpa dialog terbuka dengan pihak-pihak di Sabah yang wilayahnya berdekatan langsung dengan Ambalat.
“Saya kecewa mengetahui hal ini terjadi. Jika keputusan ini benar-benar dibuat tanpa berkonsultasi dengan Sabah, maka itu tidak baik. Ini adalah cara lain untuk melewati hak-hak kami,” kata Jeffrey Kitingan, seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Ia juga menyatakan niat untuk membawa isu ini ke Parlemen Malaysia guna meminta klarifikasi resmi dari Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Menurutnya, Sabah harus dilibatkan dalam keputusan strategis yang menyangkut sumber daya alam di perairan teritorialnya.
Mantan Ketua Menteri Sabah, Yong Teck Lee, turut menyoroti kemungkinan kesalahan berulang dari Pemerintah Federal. Ia mengingatkan pada insiden tahun 2009, ketika hak atas Blok L dan M dilaporkan diserahkan Malaysia kepada Brunei tanpa persetujuan atau konsultasi dengan Sabah.
Menurut Yong, kesepakatan Ambalat berisiko mengulangi pola yang sama, yakni keputusan tingkat pusat yang mengorbankan kepentingan negara bagian. Ia menekankan pentingnya transparansi dan konsultasi dalam kebijakan luar negeri yang berdampak pada daerah.
Isu Ambalat memang menjadi salah satu titik rawan hubungan antara Jakarta dan Kuala Lumpur. Sejak awal 2000-an, ketegangan sempat meningkat karena aktivitas eksplorasi energi oleh kedua negara yang saling klaim wilayah tersebut.
Kesepakatan baru ini sejatinya dipandang sebagai upaya mendekatkan hubungan bilateral dan mendorong stabilitas kawasan. Namun, kurangnya koordinasi dengan pemangku kepentingan lokal seperti Sabah menimbulkan tantangan politik tersendiri bagi Malaysia.
Pengelolaan bersama Blok Ambalat memerlukan pembentukan otoritas gabungan yang akan mengatur pembagian hasil, operasional eksplorasi, dan perlindungan lingkungan laut. Detail teknis ini masih dalam tahap perencanaan oleh kedua pemerintah.
Belum ada keterangan resmi mengenai waktu pelaksanaan kerja sama ini. Namun, para pejabat di kedua negara menyatakan bahwa pembicaraan lanjutan akan dilakukan dalam waktu dekat untuk menyusun kerangka hukum dan institusional.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyebut bahwa kerja sama ini adalah bagian dari kebijakan luar negeri berbasis kesejahteraan. Pemerintah Indonesia berharap kesepakatan ini dapat mendorong stabilitas dan pembangunan di kawasan timur Indonesia.
Sementara itu, pemerintah Malaysia menghadapi tekanan internal untuk menyampaikan detail lengkap dari kesepakatan tersebut, termasuk dampaknya terhadap hukum nasional, batas wilayah Sabah, dan potensi pendapatan negara bagian dari kerja sama ini.
Kesepakatan Ambalat juga menjadi ujian bagi kemampuan diplomasi kedua negara dalam mengelola sumber daya bersama di tengah dinamika politik domestik yang kompleks. Ini juga mencerminkan pendekatan pragmatis dalam menyelesaikan konflik teritorial.
Dalam waktu dekat, reaksi dari masyarakat sipil, pakar energi, dan lembaga legislatif di kedua negara diperkirakan akan terus bermunculan. Mereka akan menyoroti aspek transparansi, distribusi hasil, dan dampak lingkungan dari eksplorasi blok Ambalat.
Kerja sama ekonomi dalam bentuk pengembangan bersama memang bisa menjadi alternatif atas konflik wilayah. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kepercayaan publik dan kejelasan peran semua pihak yang terdampak secara langsung.
Kesepakatan ini juga akan menjadi preseden penting bagi penyelesaian sengketa wilayah maritim lainnya di Asia Tenggara. Jika berhasil, kerja sama Ambalat bisa menjadi model bagi kawasan dalam menangani konflik batas dengan pendekatan kolaboratif.
Penting bagi kedua negara untuk tetap menjaga komunikasi terbuka dengan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat adat di sekitar wilayah perairan tersebut. Keterlibatan semua pihak akan menentukan kelangsungan dan legitimasi proyek ini.
Langkah strategis berikutnya adalah memastikan bahwa kerja sama ini mengutamakan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Sumber daya alam yang dikelola bersama harus mampu meningkatkan kesejahteraan tanpa mengorbankan hak-hak daerah.
Pemerintah Indonesia juga perlu mempertimbangkan mekanisme pengawasan independen dalam kerja sama ini agar tidak terjadi ketimpangan atau pelanggaran lingkungan. Perlu ada regulasi teknis yang memperjelas batas tanggung jawab operasional dan fiskal.
Diperlukan komunikasi intensif antara pemerintah pusat Malaysia dengan otoritas di Sabah untuk menghindari gesekan politik yang dapat menghambat kerja sama regional. Langkah ini penting untuk membangun kepercayaan dalam pengelolaan sumber daya bersama.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia juga sebaiknya segera membentuk forum konsultatif yang inklusif, melibatkan pemerintah daerah, komunitas nelayan, serta organisasi lingkungan untuk mendukung keberlanjutan kerja sama di Ambalat.
Pendekatan berbasis kolaborasi yang saling menguntungkan tidak boleh mengabaikan sensitivitas lokal. Dialog terbuka dan partisipatif akan membantu menciptakan model kerja sama lintas batas yang adil dan berdaya guna jangka panjang.
Kepastian hukum dan pengaturan teknis yang jelas dalam pengelolaan Blok Ambalat juga harus diprioritaskan untuk menghindari kesalahpahaman antar pemangku kepentingan. Hal ini akan meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengembangan wilayah tersebut.
Keberhasilan kesepakatan ini akan menjadi tolok ukur komitmen kedua negara dalam menjunjung prinsip kedaulatan, kemitraan, dan pembangunan berkelanjutan. Jika dikelola dengan baik, Ambalat bisa menjadi simbol perdamaian dan kesejahteraan di perbatasan.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v