Jakarta
EKOIN.CO – Kejaksaan Agung Republik Indonesia memamerkan uang tunai sebesar Rp1.374.892.735.527,46 yang disita dari dua perusahaan dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). Uang tersebut berasal dari PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group dan ditampilkan kepada publik sebagai bentuk transparansi terhadap kinerja aparat penegak hukum.
Peristiwa ini berlangsung di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Rabu, 2 Juli 2025. Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Sutikno, menjelaskan bahwa langkah itu dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban serta upaya membangun kesadaran publik terhadap bahaya korupsi.
“Ini kan, sebagai media informasi kepada publik. Media tetap menyuarakan ini dengan harapan kami supaya masyarakat tetap mendukung kami dengan caranya sendiri,” ujar Sutikno, seperti dikutip dari Antaranews.
Uang Disita untuk Kepentingan Negara
Penyitaan uang triliunan rupiah ini merupakan bagian dari proses hukum atas kasus korupsi ekspor CPO yang terjadi antara Januari 2021 hingga Maret 2022. Menurut Sutikno, uang tersebut saat ini dititipkan dalam rekening penampungan atas nama Jampidsus sebagai barang bukti.
Di lokasi kejadian, uang pecahan Rp100.000 tampak disusun dalam lima baris panjang. Selain itu, bundelan uang pecahan Rp50.000 juga tampak menumpuk di belakang kursi narasumber, dengan jumlah mencapai 21 bundel.
Selain Permata Hijau dan Musim Mas Group, Kejagung sebelumnya juga menyita uang sebesar Rp11,8 triliun dari PT Wilmar Group. Penyitaan dilakukan pada 17 Juni 2025 sebagai bentuk pengembalian kerugian ekonomi negara.
Kasus ini melibatkan tiga perusahaan besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, yang seluruhnya terlibat dalam praktik korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah.
Putusan Pengadilan dan Tuntutan Jaksa
Ketiga perusahaan tersebut sempat dibebaskan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hakim menyatakan para terdakwa memang terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun bukan merupakan suatu tindak pidana.
Meski demikian, JPU sebelumnya menuntut denda dan uang pengganti dari masing-masing perusahaan. Untuk PT Wilmar Group, JPU menuntut denda Rp1 miliar serta uang pengganti sebesar Rp11,88 triliun.
Apabila uang pengganti tidak dibayarkan oleh PT Wilmar Group, jaksa menuntut agar harta milik Direktur Wilmar Group, Tenang Parulian, disita dan dilelang. Jika hasil lelang tidak mencukupi, Tenang Parulian akan dijatuhi hukuman penjara selama 19 tahun.
Terdakwa PT Permata Hijau Group dituntut membayar denda Rp1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp937,5 miliar. Jika tidak dibayarkan, aset milik David Virgo selaku pengendali perusahaan akan disita dan dilelang, dengan ancaman subsidiair pidana 12 bulan.
Sementara itu, Musim Mas Group menghadapi tuntutan denda Rp1 miliar dan uang pengganti senilai Rp4,89 triliun. Apabila tidak mampu membayar, jaksa mengajukan penyitaan aset milik Gunawan Siregar dan pihak lain sebagai pengendali perusahaan, dengan hukuman subsidiair 15 tahun penjara.
Langkah memamerkan uang yang disita ini dinilai sebagai cara Kejagung membangun citra transparansi dalam penanganan perkara. Pihak Kejagung berharap masyarakat dapat lebih waspada dan mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kejagung juga menegaskan bahwa penegakan hukum akan terus dilaksanakan dengan profesional dan akuntabel. Penyitaan ini disebut sebagai bagian penting dalam memulihkan kerugian negara dan menegakkan keadilan terhadap pelaku kejahatan korupsi korporasi.
Menurut Sutikno, masyarakat perlu dilibatkan dalam proses hukum agar tercipta pengawasan kolektif terhadap potensi pelanggaran hukum. Ia menyebut, keterbukaan informasi adalah kunci dukungan publik terhadap lembaga hukum.
Selain itu, Kejagung juga ingin memastikan bahwa penanganan kasus korupsi skala besar tetap berjalan secara terbuka dan berorientasi pada pemulihan kerugian negara.
Sutikno menambahkan, barang bukti berupa uang yang ditampilkan juga diharapkan dapat menggugah empati masyarakat terhadap besarnya dampak korupsi terhadap kehidupan bangsa dan ekonomi nasional.
Kejagung menekankan bahwa tidak ada kompromi terhadap pelaku korupsi, baik individu maupun korporasi. Semua akan diproses sesuai hukum yang berlaku dan dilakukan penelusuran terhadap seluruh aset yang diduga berasal dari tindak pidana.
Sebelumnya, kasus korupsi ekspor CPO ini juga menjadi perhatian luas masyarakat dan media, mengingat besarnya jumlah kerugian negara yang ditimbulkan.
Kejagung mengonfirmasi bahwa proses hukum terhadap perusahaan dan pengurusnya akan tetap dilanjutkan meski terdapat putusan ontslag dari pengadilan, dengan langkah hukum kasasi sebagai jalur lanjutan.
Pihak kejaksaan menyatakan optimisme bahwa Mahkamah Agung akan mempertimbangkan bukti baru termasuk hasil penyitaan uang triliunan rupiah tersebut sebagai bagian dari pembuktian.
Langkah strategis seperti ini diambil untuk memastikan bahwa praktik korupsi dalam ekspor komoditas strategis tidak terulang lagi di masa mendatang.
Pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung terus berfokus pada kasus besar yang merugikan keuangan negara, terutama yang berkaitan dengan sektor strategis seperti sawit dan energi.
Sebagai tindak lanjut, Kejagung menyampaikan bahwa seluruh uang sitaan akan digunakan untuk memulihkan kerugian perekonomian negara melalui mekanisme yang diatur peraturan perundang-undangan.
bagi masyarakat adalah agar terus terlibat dalam pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan ekspor komoditas strategis seperti CPO. Masyarakat diharapkan melaporkan indikasi korupsi sekecil apa pun kepada aparat hukum.
Lembaga negara juga perlu memperkuat koordinasi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi lintas sektor, khususnya yang melibatkan korporasi besar. Sinergi antara penegak hukum dan kementerian terkait harus ditingkatkan.
Upaya edukasi publik tentang dampak korupsi harus lebih masif melalui media massa dan media sosial. Sosialisasi peran masyarakat dalam pencegahan korupsi akan meningkatkan partisipasi publik secara luas.
Selain itu, pelaku korupsi harus diberikan sanksi tegas, baik berupa pidana badan maupun pidana denda yang memadai. Pemerintah dan DPR perlu mengevaluasi ketentuan hukum yang lemah terhadap kejahatan korupsi korporasi.
langkah Kejagung memperlihatkan uang sitaan dari kasus ekspor CPO menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas hukum. Dukungan publik, partisipasi aktif, serta penguatan sistem pengawasan sangat penting agar kejahatan serupa tidak terulang. Penegakan hukum yang adil dan terbuka akan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi negara.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v