Jakarta, EKOIN.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat kritik keras dari mantan penyidik seniornya, Novel Baswedan, terkait kebijakan baru mereka dalam mengusut kasus dugaan korupsi kuota haji. Novel menyoroti keputusan KPK yang mengumumkan dimulainya penyidikan (Sprindik) tanpa menetapkan satu pun tersangka. Padahal, KPK sudah memanggil dan memeriksa berbagai pihak, mulai dari mantan menteri agama, pejabat terkait, hingga perwakilan asosiasi dan agen travel haji.
Novel Baswedan, yang kini menjabat sebagai wakil ketua satgas khusus optimalisasi penerimaan negara, secara blak-blakan menyatakan ketidaksetujuannya. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini menyalahi esensi dari Undang-Undang KPK. “Saya enggak setuju dengan kebijakan itu. Kenapa? Karena dalam pandangan saya sebagai seorang sarjana hukum, saya melihat itu salah,” ujar Novel, dikutip dari kanal Youtube Novel Baswedan Official beberapa waktu lalu. Menurutnya, UU KPK memiliki kekhususan yang seharusnya memungkinkan lembaga antirasuah ini menetapkan tersangka sejak awal penyidikan.
Lebih lanjut, Novel menjelaskan bahwa dalam hukum acara pidana yang dianut KPK, proses penyelidikan harus memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup. Bukti-bukti ini kemudian diekspos dalam forum yang dihadiri oleh penyidik, penuntut, dan pimpinan untuk memutuskan apakah kasus layak dinaikkan ke tahap penyidikan. Novel menegaskan bahwa bukti yang didapat sejak fase penyelidikan seharusnya sudah melekat pada perbuatan seseorang. “Ini enggak pas,” kata Novel, mempertanyakan bagaimana sebuah kasus bisa dinaikkan ke tahap penyidikan tanpa adanya keterkaitan bukti dengan perbuatan seseorang yang spesifik.
Kekhawatiran Novel tidak berhenti di situ. Ia melihat kebijakan ini berpotensi menimbulkan bias dan celah hukum. Terlebih lagi, sejak revisi UU KPK, lembaga ini kini memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Menurut Novel, jika alat bukti tidak dikaitkan dengan seseorang dari awal, hal ini bisa disalahgunakan di kemudian hari untuk kepentingan yang bukan penegakan hukum. “Ini bias yang kemudian hari bisa digunakan untuk kepentingan bukan penegakan hukum,” tegasnya.
Korupsi Kuota Haji: KPK Bantah Intervensi Istana dan Jelaskan Kendala Penyidikan
Di tengah isu yang beredar luas di media sosial dan ruang publik, KPK menanggapi kritik dan isu intervensi dengan membantah keras tudingan adanya campur tangan Istana dalam penetapan tersangka kasus korupsi kuota haji. Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, menegaskan bahwa lembaga yang ia pimpin bekerja secara independen dan murni berdasarkan penegakan hukum. “Tidak ada (intervensi), KPK murni penegakan hukum, penetapan tersangka tentu didasarkan pada kecukupan alat bukti,” kata Fitroh. Ia juga mengakui bahwa hingga saat ini penyidik memang belum menetapkan tersangka karena proses penyidikan belum tuntas.
Fitroh menjelaskan, lambatnya penetapan tersangka bukan karena intervensi, melainkan karena kompleksitas kasus. KPK mengklaim penyidikan kasus ini memakan waktu lama karena melibatkan ratusan biro perjalanan haji dan belasan asosiasi perjalanan haji. Skala dan jumlah pihak yang diduga terlibat membuat proses pemeriksaan dan pengumpulan bukti berjalan secara bertahap. “Hingga saat ini KPK belum menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi kuota haji,” ucap Fitroh, memberikan gambaran bahwa penyelidikan masih terus berlangsung dan membutuhkan ketelitian.
Senada dengan Fitroh, Plt Direktur Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, juga menanggapi isu intervensi Istana. Asep justru mempertanyakan kembali sumber informasi tersebut dan mengaku belum mengetahui apakah benar ada pemanggilan pimpinan KPK oleh Istana. “Kalau manggil, manggilnya kapan? Siapa (yang dipanggil)? Nanti kita tanyakan dulu ya ke pimpinan kami, informasi tersebut apakah ada atau ada,” katanya. Asep juga menegaskan akan menampung informasi yang ada dan mengonfirmasi lebih lanjut kepada pimpinannya, sebuah respons yang menunjukkan kehati-hatian dalam menanggapi isu sensitif yang beredar.
Membongkar Modus Korupsi dan Mencari Kepastian Hukum
Sebelumnya, KPK telah mengungkapkan dugaan modus korupsi dalam kasus ini. Pihak-pihak dari asosiasi yang mewakili perusahaan travel diduga melobi Kementerian Agama untuk memperoleh kuota haji khusus yang lebih banyak. KPK mengendus lebih dari 100 travel haji dan umrah yang disinyalir terlibat. Setiap travel memperoleh kuota haji khusus yang berbeda-beda, tergantung seberapa besar atau kecil skala operasi mereka. Modus ini diduga telah merugikan keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar. Dari kalkulasi awal, KPK mengklaim kerugian negara dalam perkara ini mencapai lebih dari Rp1 triliun, sebuah angka yang fantastis dan sangat merugikan.
KPK telah menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan, dengan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Meskipun dasar hukumnya jelas, kritik Novel Baswedan tetap menjadi pertanyaan besar bagi publik. Ketidakjelasan penetapan tersangka setelah proses penyidikan berjalan membuat publik khawatir akan nasib akhir dari kasus ini.
Perdebatan antara Novel Baswedan dan KPK ini bukan hanya soal prosedur hukum, tetapi juga menyangkut transparansi dan independensi lembaga antirasuah. Masyarakat menantikan langkah tegas KPK untuk segera menetapkan tersangka dan membawa kasus ini ke pengadilan, demi memastikan keadilan ditegakkan dan uang negara yang hilang dapat kembali.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v