Jakarta, EKOIN.CO – Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah menyepakati wacana untuk menjadikan Kaledonia Baru, sebuah wilayah di Pasifik Selatan yang letaknya berdekatan dengan Indonesia, sebagai “Negara Kaledonia Baru”. Meskipun masih akan berada di bawah protektorat Prancis, wilayah tersebut direncanakan memiliki kewarganegaraan sendiri dan akan secara mandiri mengendalikan kebijakan luar negeri mereka. Kesepakatan ini mencerminkan langkah maju yang signifikan dalam hubungan antara Paris dan wilayah seberang lautnya.
Seperti dilansir dari Al Jazeera, kesepakatan itu tertuang dalam dokumen setebal 13 halaman yang ditandatangani pada Sabtu (12/7/2025). Macron menyambut baik langkah tersebut dan menyebutnya sebagai wujud kepercayaan baru antara pemerintah pusat di Paris dan pemerintahan lokal di Noumea, ibu kota Kaledonia Baru. Dalam pernyataannya di platform X, Macron menulis, “Negara Bagian Kaledonia Baru di dalam Republik: ini adalah taruhan kepercayaan. Saatnya menunjukkan rasa hormat, stabilitas, dan niat baik untuk membangun masa depan bersama.”
Kesepakatan bersejarah ini membuka jalan bagi Noumea untuk menyelenggarakan referendum tambahan di masa depan. Referendum ini akan menyerahkan kekuasaan lebih jauh kepada otoritas lokal, termasuk di bidang pertahanan, keamanan, mata uang, dan peradilan. Apabila disetujui, hal ini dapat mengarah pada pengakuan resmi Kaledonia Baru sebagai negara anggota PBB.
Salah satu anggota parlemen, Nicolas Metzdorf, melihat kesepakatan ini sebagai kompromi yang sangat penting. “Kewarganegaraan Kaledonia adalah konsesi nyata, lahir dari tuntutan dialog,” ujarnya. Rencananya, parlemen Prancis akan membahas dan memberikan suara atas kesepakatan ini pada kuartal IV 2025. Jika lolos, hasilnya akan diajukan ke referendum rakyat Kaledonia Baru pada 2026.
Sebagai informasi, Kaledonia Baru telah diperintah oleh Prancis sejak abad ke-19, meskipun berjarak hampir 17.000 km (sekitar 10.600 mil) dari Paris. Selama ini, sejumlah sentimen ketidakpuasan telah disuarakan oleh suku pribumi Kanak, yang mencakup sekitar 40% dari populasi hampir 300.000 jiwa. Sentimen tersebut mencapai puncaknya saat kerusuhan meletus pada Mei 2024. Kerusuhan dipicu oleh protes Suku Kanak terhadap undang-undang Prancis yang mengizinkan ribuan penduduk non-pribumi yang telah lama tinggal di wilayah itu untuk memilih dalam pemilihan provinsi.
Suku Kanak merasa khawatir kebijakan tersebut akan menjadikan mereka minoritas permanen, melemahkan pengaruh mereka, dan menghancurkan peluang untuk meraih kemerdekaan. Kerusuhan berdarah ini menewaskan 14 orang dan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2 miliar euro (sekitar Rp37 triliun), yang memangkas 10% dari PDB Kaledonia Baru. Dengan adanya kesepakatan baru ini, diharapkan ketegangan politik dan sosial di wilayah tersebut dapat mereda.