TOKYO EKOIN.CO – Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, menyatakan bahwa Jepang harus mengurangi ketergantungan terhadap Amerika Serikat di sektor-sektor strategis seperti keamanan, energi, dan pangan. Pernyataan ini disampaikan menyusul meningkatnya ketegangan antara kedua negara akibat rencana penerapan tarif impor baru oleh Presiden AS, Donald Trump.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ishiba menegaskan bahwa negaranya tidak bisa terus menerus bergantung pada keputusan Amerika Serikat, apalagi jika keputusan tersebut merugikan kepentingan nasional Jepang. Dalam pernyataannya, ia mengajak agar Jepang mulai memperkuat kemandirian nasional.
“Jika mereka berpikir kami harus mengikuti apa pun yang dikatakan mereka karena kita sangat bergantung pada mereka, maka kita perlu bekerja untuk menjadi lebih mandiri dalam bidang keamanan, energi, dan pangan, dan mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat,” ujar Ishiba, seperti dikutip Jumat (11/7).
Pernyataan tersebut muncul sebagai respons terhadap rencana kebijakan Presiden Trump yang akan memberlakukan tarif impor sebesar 25% terhadap produk dari Jepang, mulai berlaku 1 Agustus 2025. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan berdampak langsung pada hubungan ekonomi kedua negara.
Ketegangan diplomatik dan ancaman tarif
Hubungan bilateral Jepang-Amerika Serikat selama ini dikenal stabil, namun kini menunjukkan ketegangan baru. Ishiba menilai bahwa ancaman tarif tersebut merupakan sinyal buruk yang bisa merusak kerja sama ekonomi jangka panjang antara kedua negara.
AS diketahui akan menerapkan tarif tinggi pada berbagai produk asal Jepang, yang disebut-sebut sebagai bagian dari strategi proteksionis Trump untuk memperkuat industri dalam negeri. Namun, langkah ini justru memicu kecemasan di Tokyo.
Negosiasi tarif yang dilakukan kedua negara disebut Ishiba sebagai pertarungan yang menyangkut martabat nasional. Ia menekankan pentingnya mempertahankan posisi tawar Jepang dalam hubungan dagang dan politik luar negeri.
Sementara itu, Trump mengindikasikan bahwa pintu negosiasi masih terbuka. Namun, tidak ada kepastian bahwa perubahan kebijakan akan terjadi sebelum tarif diberlakukan bulan depan.
Upaya Jepang menuju kemandirian strategis
Menghadapi tekanan tersebut, Jepang tengah mengkaji berbagai alternatif strategis. Salah satunya dengan memperluas kerja sama energi dengan negara-negara lain dan mencari sumber impor pangan baru yang lebih beragam.
Langkah-langkah diversifikasi ini dianggap penting untuk mengurangi risiko jika sewaktu-waktu hubungan dengan AS kembali memanas atau mengalami ketegangan yang lebih serius.
Selain sektor energi dan pangan, Jepang juga mulai memperkuat industri pertahanan dalam negeri. Hal ini selaras dengan upaya untuk membangun kapasitas keamanan nasional yang lebih otonom.
Ishiba menyampaikan bahwa pihaknya akan mengevaluasi ulang berbagai bentuk kerja sama yang membuat Jepang terlalu bergantung pada AS. Tujuannya adalah agar Jepang memiliki posisi lebih kuat dalam menghadapi tekanan dari negara manapun.
Perkembangan ini menjadi perhatian komunitas internasional, mengingat Jepang adalah sekutu utama AS di kawasan Asia Timur. Ketegangan keduanya dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan geopolitik regional.
Pemerintah Jepang disebut tengah melakukan diskusi internal yang intensif untuk menyusun strategi diplomasi baru, termasuk menjalin kerja sama ekonomi yang lebih luas dengan negara-negara Asia dan Eropa.
Analis memprediksi bahwa jika konflik tarif ini tidak segera mereda, Jepang akan mempercepat proses pengurangan ketergantungan pada Amerika Serikat di berbagai sektor vital.
Kementerian Perdagangan Jepang belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait rencana tarif AS. Namun sumber internal menyebut bahwa pemerintah akan mengupayakan langkah-langkah konkret dalam beberapa pekan ke depan.
Langkah Jepang ini juga bisa menjadi sinyal bagi negara-negara lain yang menghadapi kebijakan dagang agresif dari Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump.
Pemerintah Jepang berharap bahwa dialog terbuka tetap bisa dilakukan meskipun ada perbedaan kepentingan. Tujuan akhirnya adalah memastikan kepentingan ekonomi nasional tetap terlindungi.
Saat ini, berbagai pihak di Jepang juga menyerukan agar perusahaan-perusahaan besar dalam negeri mulai mengurangi eksposur bisnis terhadap pasar Amerika Serikat.
Dunia usaha di Jepang menyambut baik seruan Ishiba, dan beberapa perusahaan disebut mulai mengevaluasi ulang rantai pasok global mereka.
Beberapa pengamat hubungan internasional menyebutkan bahwa langkah ini merupakan awal dari perubahan paradigma kebijakan luar negeri Jepang yang lebih berorientasi pada kemandirian nasional.
Jepang tetap menyatakan komitmennya pada kerja sama internasional, namun tidak ingin posisi mereka terus berada di bawah bayang-bayang tekanan negara lain.
Kebijakan tarif Trump sebelumnya juga telah memicu ketegangan dengan negara-negara lain, termasuk Uni Eropa dan Tiongkok, yang mengkritik langkah proteksionis tersebut.
Dengan latar belakang tersebut, Jepang tampaknya tidak ingin hanya menjadi pihak yang bereaksi, melainkan ingin bersikap proaktif dalam melindungi kepentingannya di tengah gejolak global.
Pernyataan Perdana Menteri Ishiba kemungkinan akan menjadi landasan bagi kebijakan baru Jepang yang lebih seimbang dan tidak sepenuhnya berpihak pada Amerika Serikat.
Kesimpulan dari dinamika ini menunjukkan bahwa Jepang mulai menyadari pentingnya kemandirian strategis di tengah ketidakpastian global. Dengan tekanan dari kebijakan luar negeri AS yang agresif, Jepang memilih untuk memperkuat posisinya secara internal dan memperluas jaringan diplomatik secara global.
Situasi ini dapat mendorong terbentuknya aliansi baru di kawasan Asia dan membentuk ulang keseimbangan kekuatan ekonomi dunia. Jepang, sebagai negara maju dengan pengaruh regional, berpotensi menjadi pionir dalam model kerja sama multilateral yang lebih seimbang.
Di sisi lain, hubungan bilateral Jepang-AS tetap menjadi perhatian dunia. Bagaimanapun, kedua negara memiliki sejarah kerja sama panjang yang tidak mudah diubah secara drastis. Tantangannya adalah bagaimana menjaga stabilitas tanpa mengorbankan kepentingan nasional.
Upaya Jepang membangun otonomi di sektor strategis juga menjadi pelajaran penting bagi negara lain, terutama dalam menghadapi dinamika geopolitik yang cepat berubah. Strategi diversifikasi kini menjadi bagian penting dari kebijakan nasional.
Langkah konkret dan terukur sangat dibutuhkan agar kebijakan kemandirian ini tidak hanya berhenti pada wacana politik, tetapi benar-benar bisa diimplementasikan secara luas dalam semua sektor kehidupan ekonomi dan pertahanan.(*)