Jakarta, EKOIN.CO – Upaya memperkuat transformasi menuju industri hijau kembali ditegaskan dalam Simposium Internasional yang diselenggarakan Indonesia – Japan Business Network (IJBNet) di Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, BRIN, Jakarta, Kamis (17/07).
Acara ini dihadiri pemangku kepentingan dari sektor pemerintah, industri, dan lembaga riset yang menyoroti pentingnya sinergi antarnegara dalam membangun ekonomi rendah karbon. Industri hijau dipandang sebagai fondasi ekonomi berkelanjutan yang sejalan dengan efisiensi sumber daya.
Andi Rizaldi, Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian, menyatakan pentingnya kolaborasi lintas sektor. “Potensi kerja sama kami mencakup pengembangan database emisi industri bersama Zeroboard dan METI,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa inisiatif ini meliputi analisis struktur data, kebijakan pengurangan emisi industri, serta inovasi sistem pengawasan yang adaptif terhadap perubahan iklim global. Kolaborasi internasional menjadi kunci utama menuju implementasi berkelanjutan.
Simposium ini juga membuka diskusi tentang harmonisasi kebijakan nasional dengan standar keberlanjutan internasional. Di tengah krisis iklim global, kebutuhan akan penyesuaian sistem industri menjadi semakin mendesak.
Komitmen Terhadap Perdagangan Karbon Transparan
Kepala Pengembangan Perdagangan Karbon dari IDXCarbon, Edwin Hartanto, turut menjabarkan tentang Indonesia Carbon Exchange yang dikelola Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia menyampaikan komitmen penuh dalam mengembangkan perdagangan karbon yang adil dan transparan.
“BEI, melalui Bursa Karbon Indonesia, berkomitmen mengembangkan perdagangan karbon yang transparan, tertib, dan sesuai dengan praktik dunia,” ucapnya. Menurutnya, sistem ini membuka potensi besar bagi Indonesia dalam pasar karbon global.
Edwin juga menambahkan bahwa penetapan harga karbon merupakan instrumen penting dalam mitigasi perubahan iklim. Ia mencontohkan bahwa dari tahun 1961 hingga 1990, konsentrasi gas rumah kaca menyebabkan peningkatan suhu bumi hingga 1°C.
Diperlukan kebijakan sistematis dalam menetapkan harga karbon agar perubahan iklim dapat dikendalikan secara signifikan. Bursa karbon menjadi wadah transaksi penting dalam mekanisme tersebut.
IDXCarbon dirancang sebagai platform perdagangan yang menghubungkan industri penghasil karbon dengan investor yang berorientasi pada lingkungan.
Taksonomi Keuangan Berkelanjutan dan Kolaborasi Kebijakan
Sementara itu, M. Yamin dari Direktorat Keuangan Berkelanjutan OJK mengungkapkan bahwa pengembangan keuangan berkelanjutan memerlukan ekosistem kebijakan yang solid. Hal itu untuk menjamin keberlangsungan ekonomi dan lingkungan.
“OJK sedang mengembangkan kebijakan, standar, hingga layanan keuangan untuk membiayai kegiatan berkelanjutan menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tegasnya dalam sesi diskusi.
Ia menjelaskan bahwa Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) akan menjadi acuan nasional dalam mengidentifikasi bisnis ramah lingkungan. TKBI juga diharapkan dapat mendukung pencapaian target net zero emission.
Menurut Yamin, implementasi taksonomi ini memerlukan pelaporan sistematis, sertifikasi profesional, serta dukungan verifikator pihak ketiga. OJK telah memulai pilot project dari sektor perbankan sebelum diperluas ke sektor lain.
“Ke depan, OJK akan terus mendorong penguatan ekosistem keuangan berkelanjutan melalui pembentukan komite khusus,” tambahnya.
Strategi Siklus Hidup dan Ekonomi Sirkular
Pembicara lain, Jessica Hanafi, Pendiri PT Life Cycle Indonesia, menegaskan pentingnya integrasi prinsip keberlanjutan dalam kebijakan publik. Menurutnya, kebijakan yang tidak mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan akan sulit mencapai keberlanjutan jangka panjang.
“Ada kategori untuk mengurangi kehilangan limbah pangan sebagai bagian dari penerapan ekonomi sirkular dan kesejahteraan rendah karbon,” ujarnya.
Jessica menambahkan bahwa strategi ini berbasis pada Life Cycle Analysis (LCA) terhadap rantai nilai pangan nasional. Mulai dari proses produksi, distribusi, hingga konsumsi akhir dinilai dampaknya secara menyeluruh.
Ia juga memaparkan konsep Social Life Cycle Assessment (SLCA) sebagai pendekatan untuk mengevaluasi dampak sosial dari suatu produk. Penilaian ini melibatkan semua aktor yang terkait sepanjang siklus hidup produk.
“Tujuan utama dari pelaksanaan S-LCA ini untuk mengantisipasi peningkatan kondisi sosial dan kinerja sosial ekonomi secara keseluruhan,” pungkasnya dalam sesi terakhir simposium.
Simposium internasional di Jakarta ini menandai langkah konkret Indonesia dalam mewujudkan industri yang ramah lingkungan dan sosial. Melalui kerja sama lintas sektor dan lintas negara, transformasi menuju industri hijau mulai mendapatkan fondasi kuat.
Pentingnya sistem perdagangan karbon, standar taksonomi keberlanjutan, dan pendekatan siklus hidup menjadi benang merah dari keseluruhan diskusi. Setiap kebijakan diarahkan pada tujuan bersama: efisiensi sumber daya tanpa mengorbankan nilai sosial dan ekologis.
Dengan dukungan regulasi, teknologi, dan kolaborasi antarpemangku kepentingan, Indonesia menunjukkan komitmen menuju pertumbuhan ekonomi rendah karbon yang inklusif dan berkeadilan. Transformasi hijau bukan hanya visi masa depan, melainkan kebutuhan masa kini.(*)