Jakarta, Ekoin.co – Tiga hakim nonaktif, yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom, didakwa menerima suap senilai Rp21,9 miliar untuk memberikan vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Dakwaan ini dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam persidangan, JPU menegaskan bahwa pemberian uang tersebut bertujuan memengaruhi putusan yang seharusnya dijatuhkan secara independen oleh majelis hakim. “(Uang suap diterima) Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” ujar JPU.
Ketiga hakim tersebut menerima uang dalam jumlah berbeda. Djuyamto mendapatkan Rp9,5 miliar, sedangkan Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin masing-masing memperoleh Rp6,2 miliar. Suap itu diberikan terkait dengan putusan perkara tiga korporasi besar minyak goreng.
Peran Pejabat Pengadilan Lainnya
Selain tiga hakim, jaksa juga mengungkap adanya aliran dana kepada pihak lain di lingkungan peradilan. Eks Ketua PN Jakarta Selatan yang pernah menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, disebut menerima Rp15,7 miliar. Sementara Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp2,4 miliar.
Secara keseluruhan, hakim hingga panitera menerima suap dengan total mencapai Rp40 miliar. Pemberian tersebut dilakukan dalam dua tahap berbeda pada tahun 2024. Tahap pertama berlangsung pada Mei 2024, ketika Ariyanto mendatangi rumah Wahyu Gunawan membawa uang tunai USD500.000 atau setara Rp8 miliar.
Uang tersebut lalu dibagikan kepada para penerima. Arif memperoleh Rp3,3 miliar, Djuyamto menerima Rp1,7 miliar, Ali Muhtarom dan Agam masing-masing Rp1,1 miliar, serta Wahyu Rp800 juta. Uang itu kemudian disalurkan pada Juni 2024 sebagai bagian dari pengaturan perkara.
“ Ada titipan dari sebelah untuk baca berkas,” ucap jaksa menirukan keterangan Arif dalam persidangan. Uang disebut sebagai “titipan” agar majelis hakim lebih cermat membaca dokumen kasus yang tengah ditangani.
Pemberian Uang Tahap Kedua
Tahap berikutnya terjadi pada Oktober 2024. Saat itu, Ariyanto kembali memberikan uang tunai USD2 juta atau sekitar Rp32 miliar kepada Wahyu untuk diteruskan kepada majelis hakim. Tujuannya tetap sama, yakni menjamin putusan lepas terhadap tiga korporasi terdakwa.
Dalam pembagian tahap kedua ini, Arif mendapat Rp12,4 miliar, Djuyamto menerima Rp7,8 miliar, sementara Ali Muhtarom dan Agam masing-masing menerima Rp5,1 miliar. Adapun Wahyu mendapatkan Rp1,6 miliar.
Jaksa menyebutkan bahwa uang tersebut secara jelas ditujukan agar majelis menjatuhkan vonis onslag atau ontslag van alle recht vervolging. Putusan akhirnya memang dikeluarkan pada 19 Maret 2025 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Vonis lepas itu diberikan kepada tiga kelompok korporasi besar di industri minyak goreng, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Ketiganya dinyatakan lepas dari tuntutan hukum meski terjerat kasus ekspor CPO.
Permata Hijau Group mencakup perusahaan PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit. Sementara Wilmar Group terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Adapun Musim Mas Group melibatkan perusahaan PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, serta PT Wira Inno Mas.
Putusan Majelis Hakim
Majelis hakim yang memutus perkara itu dipimpin Djuyamto, dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Mereka akhirnya diketok sebagai pemberi putusan lepas yang diduga sudah dipengaruhi aliran dana.
Jaksa menilai praktik suap tersebut jelas merusak integritas peradilan. Pemberian uang dengan nilai fantastis dilakukan secara sistematis melalui perantara Wahyu Gunawan yang bertindak sebagai penghubung.
BACA JUGA
Wahyu Gunawan Jalani Sidang Tipikor di Jakarta
Selain itu, keterlibatan mantan pejabat tinggi pengadilan seperti Arif menambah bukti adanya praktik terorganisir dalam penentuan vonis. Kasus ini memperlihatkan bagaimana putusan perkara bisa diarahkan oleh kepentingan pihak tertentu dengan menggunakan uang.
Dakwaan yang dibacakan JPU pada sidang 21 Agustus 2025 menegaskan bahwa seluruh penerima suap sudah mengetahui maksud pemberian uang tersebut. Oleh karena itu, mereka didakwa dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi, baik terkait penyuapan maupun penyalahgunaan wewenang.
Keterangan yang disampaikan jaksa menekankan bahwa uang diberikan dalam jumlah besar agar majelis tidak menjatuhkan hukuman pidana, melainkan putusan lepas. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa vonis yang dibacakan pada Maret 2025 memang tidak lepas dari pengaruh suap.