Jakarta, EKOIN.CO – Indonesia tengah menargetkan diri menjadi produsen listrik panas bumi terbesar dunia pada 2030. Target ambisius ini sejalan dengan potensi energi baru terbarukan yang melimpah, meskipun realisasi pengembangan dinilai masih berjalan lambat. Sejumlah pihak menilai, Indonesia perlu banyak belajar dari pengalaman negara lain seperti Filipina dan Meksiko.
Gabung WA Channel EKOIN di sini
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menyampaikan pandangan bahwa Indonesia memiliki modal besar untuk berkembang di sektor energi ini. Namun, menurutnya, perjalanan panjang sejak pertama kali memproduksikan listrik panas bumi 42 tahun lalu belum sebanding dengan hasil yang dicapai.
Komaidi menegaskan, pengembangan panas bumi membutuhkan konsistensi kebijakan, komitmen investasi, serta kepastian regulasi. “Jika Indonesia serius ingin menjadi pemain utama, maka langkah perbaikan harus dilakukan sekarang, bukan nanti,” ujarnya.
Belajar Panas Bumi dari Filipina dan Meksiko
Sejumlah pakar menyarankan agar Indonesia mencontoh Filipina dan Meksiko yang lebih dahulu sukses dalam pengelolaan panas bumi. Filipina, misalnya, sudah menempati posisi kedua terbesar di dunia dalam pemanfaatan energi ini. Negara tersebut mampu mengoptimalkan dukungan kebijakan pemerintah, insentif fiskal, serta tata kelola yang transparan.
Meksiko juga menjadi acuan berkat strategi pengembangan wilayah potensial yang terintegrasi dengan kebutuhan listrik nasional. Dengan langkah tersebut, negara itu mampu mengurangi ketergantungan pada energi fosil, sekaligus memperkuat kemandirian energi.
Perbandingan ini menjadi bahan evaluasi penting bagi Indonesia. Dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia, semestinya Indonesia dapat melampaui capaian kedua negara tersebut jika perencanaan dilakukan lebih efektif.
Komaidi menambahkan bahwa keterlibatan swasta juga perlu diperluas. Ia menilai, tanpa sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, pengembangan panas bumi akan tetap stagnan.
Tantangan Panas Bumi di Indonesia
Meski memiliki potensi melimpah, pengembangan panas bumi di Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan. Persoalan utama terletak pada tingginya biaya eksplorasi serta keterbatasan infrastruktur.
Selain itu, proses perizinan yang panjang kerap menjadi penghambat. Investor membutuhkan kepastian hukum agar berani menanamkan modal pada sektor ini. Tanpa adanya jaminan regulasi yang stabil, banyak proyek berisiko mangkrak di tengah jalan.
Tantangan lain adalah isu lingkungan dan sosial. Lokasi cadangan panas bumi seringkali berada di kawasan hutan lindung atau wilayah adat. Hal ini memerlukan pendekatan khusus agar pengembangan energi tidak menimbulkan konflik baru dengan masyarakat setempat.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, pemerintah disebut harus menyiapkan kebijakan yang lebih proaktif. Insentif fiskal, percepatan izin, hingga kemudahan akses pendanaan menjadi langkah konkret yang ditunggu banyak pihak.
Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) mendukung penuh target nasional tersebut. Menurut API, Indonesia dapat menyalip capaian negara lain jika strategi pengembangan dilakukan dengan konsisten.
API juga menekankan pentingnya penelitian dan pengembangan teknologi. Dengan teknologi yang lebih efisien, biaya produksi panas bumi bisa ditekan sehingga daya saing meningkat.
Pemerintah sendiri melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan tambahan kapasitas terpasang panas bumi mencapai 7.200 megawatt pada 2030. Angka ini diproyeksikan cukup untuk mendukung transisi energi dan menurunkan emisi karbon nasional.
Jika target itu berhasil, Indonesia tidak hanya akan menjadi produsen terbesar, tetapi juga menjadi pionir transisi energi ramah lingkungan di kawasan Asia.
Pakar energi menilai bahwa keberhasilan target ini akan membawa dampak positif secara ekonomi maupun geopolitik. Indonesia akan memiliki posisi tawar lebih kuat dalam percaturan energi global.
Namun, sejumlah kalangan mengingatkan agar optimisme tidak mengabaikan realitas. Tanpa percepatan kebijakan dan eksekusi, target panas bumi bisa berakhir hanya sebagai wacana.
Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia, namun pengembangan berjalan lambat.
Belajar dari Filipina dan Meksiko menjadi langkah strategis agar Indonesia mampu mengoptimalkan potensi energi ini.
Tantangan biaya, regulasi, dan isu lingkungan harus dijawab dengan kebijakan yang lebih konsisten.
Sinergi pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk mempercepat pemanfaatan panas bumi.
Jika target 2030 tercapai, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin dunia dalam energi bersih. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v