MOSKOW EKOIN.CO – Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah melontarkan ancaman terbuka kepada mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Perseteruan ini mencuat usai Trump mengeluarkan kritik keras kepada Medvedev di platform media sosial miliknya, Truth Social, pada Kamis dini hari, 31 Juli 2025. Dalam unggahannya, Trump menyebut Medvedev sebagai “mantan Presiden Rusia yang gagal” dan memperingatkan agar Medvedev berhati-hati dengan pernyataannya.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ketegangan ini dipicu oleh komentar Medvedev sebelumnya yang menilai ancaman tarif dari Trump terhadap Rusia dan negara-negara pembeli minyak Rusia sebagai “permainan ultimatum”. Medvedev menilai pernyataan Trump tersebut sebagai langkah yang membawa kedua negara mendekati konflik militer.
Dalam tanggapannya yang disampaikan secara tegas, Medvedev memperingatkan bahwa Rusia memiliki sistem senjata nuklir yang disebut “Dead Hand” atau “Tangan Mati”, sebuah sistem serangan balasan otomatis yang dirancang untuk menghancurkan musuh jika Rusia diserang terlebih dahulu. Ancaman ini memperlihatkan eskalasi baru dalam retorika antara Moskow dan Washington.
Medvedev ingatkan Trump soal Dead Hand
Medvedev menyatakan, “Jika Trump memutuskan untuk menantang Rusia dengan ancaman ekonominya, dia harus tahu bahwa kami memiliki opsi serangan pamungkas.” Peringatan tersebut dilontarkan setelah Trump mempertegas sikapnya terhadap Rusia, terutama terkait perdagangan minyak dan tarif ekonomi.
Trump menanggapi komentar Medvedev dengan mengatakan bahwa Rusia dan Amerika Serikat hampir tidak memiliki hubungan dagang, dan dia berniat mempertahankan situasi tersebut. “Mari kita pertahankan seperti itu,” tulis Trump dalam pernyataan yang dikutip dari Truth Social.
Trump juga menyindir hubungan dagang Amerika dengan India, yang merupakan salah satu pembeli utama minyak Rusia selain China. Dia menilai tarif yang dikenakan India terhadap AS terlalu tinggi dan berjanji tidak akan memberikan perhatian lebih pada perdagangan dengan India dalam konteks sanksi terhadap Rusia.
Sementara itu, menurut laporan media Rusia yang dikutip beberapa media internasional, Medvedev menyebut bahwa Trump sedang “mencari sensasi” menjelang pemilihan presiden AS. Medvedev menyindir bahwa ancaman Trump terhadap Rusia merupakan upaya untuk menarik dukungan publik Amerika.
Ketegangan AS-Rusia kembali meningkat
Ketegangan terbaru ini menambah panjang daftar konfrontasi verbal antara pemimpin Rusia dan tokoh politik utama Amerika. Medvedev, yang pernah menjabat Presiden Rusia dari 2008 hingga 2012, dikenal sebagai salah satu pejabat Rusia yang kerap melontarkan pernyataan keras terhadap Barat sejak perang Ukraina pecah.
Perseteruan Medvedev dan Trump sebelumnya sempat mereda saat masa jabatan Trump sebagai Presiden AS berakhir. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, keduanya kembali saling sindir seiring dengan meningkatnya kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat, di mana Trump menjadi kandidat unggulan dari Partai Republik.
Medvedev pun mengingatkan kembali doktrin militer Rusia yang memperbolehkan penggunaan senjata nuklir jika eksistensi negara terancam. “Kami tidak main-main. Siapa pun yang memprovokasi kami akan menghadapi konsekuensinya,” tegas Medvedev dalam pernyataannya.
Isyarat penggunaan senjata nuklir bukanlah hal baru dari Moskow, namun ancaman langsung terhadap Trump merupakan langkah yang jarang terjadi. Pemerintah Amerika Serikat hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi atas ancaman tersebut.
Dalam catatan sejarah, sistem “Dead Hand” dirancang pada era Perang Dingin sebagai sistem kendali nuklir otomatis. Sistem ini akan meluncurkan rudal balistik jika terdeteksi adanya serangan nuklir besar-besaran ke wilayah Rusia dan para pemimpin negara tidak dapat merespons secara manual.
Sampai saat ini, belum ada bukti bahwa sistem tersebut aktif, namun pernyataan Medvedev kembali menghidupkan ketakutan lama tentang potensi perang nuklir antara kekuatan besar dunia.
Para analis politik internasional menyebut ancaman ini sebagai sinyal bahwa ketegangan geopolitik global masih belum mereda, meskipun berbagai diplomasi tengah diupayakan di berbagai forum internasional. Retorika seperti ini dianggap dapat memperburuk hubungan bilateral yang sudah renggang antara Rusia dan Amerika Serikat.
Situasi ini diperkirakan akan terus memanas seiring dengan makin dekatnya pemilihan presiden di AS, di mana isu kebijakan luar negeri dan sikap terhadap Rusia menjadi salah satu sorotan utama dalam debat politik domestik.
Medvedev menegaskan bahwa Rusia tidak akan tunduk pada tekanan ekonomi maupun militer dari negara mana pun, termasuk Amerika Serikat. Ia mengklaim bahwa stabilitas Rusia tidak akan terganggu oleh tekanan eksternal.
Sementara itu, para pejabat AS menyarankan agar semua pihak menahan diri dan menghindari provokasi yang dapat memicu ketegangan lebih lanjut. Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan dari Presiden Joe Biden mengenai ancaman yang dilontarkan Medvedev.
Ketegangan diplomatik ini menjadi perhatian komunitas internasional, terutama di tengah ketidakpastian global yang disebabkan oleh konflik Ukraina dan ketegangan di kawasan Indo-Pasifik.
Dari berbagai reaksi publik di media sosial, sejumlah pihak menyayangkan penggunaan retorika perang oleh pejabat tinggi negara yang seharusnya mengutamakan dialog. Namun, masih belum diketahui apakah konflik verbal ini akan berdampak langsung pada kebijakan luar negeri kedua negara.
Pemerintah Rusia juga belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai sikap resmi mereka terkait pernyataan Medvedev terhadap Trump. Juru bicara Kremlin hanya mengatakan bahwa “setiap pejabat berhak memberikan pandangannya sendiri”.
Dunia internasional kini menantikan apakah ada tindak lanjut dari pernyataan Medvedev dan bagaimana Trump akan merespons dalam beberapa hari ke depan. Situasi ini menambah kompleksitas hubungan antara Rusia dan negara-negara Barat yang semakin dinamis.
dari perkembangan ini menunjukkan bahwa ketegangan politik antara Rusia dan Amerika Serikat belum menemukan titik damai. Pernyataan Medvedev mencerminkan sikap keras Rusia dalam menghadapi tekanan dari pihak Barat, terutama dari tokoh politik berpengaruh seperti Trump.
Langkah-langkah diplomatik perlu diintensifkan agar konfrontasi ini tidak berubah menjadi konflik terbuka. Komunitas internasional diharapkan dapat menjadi penengah yang mampu meredakan eskalasi yang mungkin terjadi dalam waktu dekat.
Ancaman penggunaan senjata nuklir seharusnya tidak dijadikan alat politik dalam perseteruan antarnegara. Penggunaan retorika ekstrem berisiko membahayakan stabilitas global dan memperparah krisis kepercayaan di antara kekuatan besar dunia.
Para pemimpin dunia diharapkan mengedepankan jalur komunikasi yang terbuka dan transparan untuk menghindari kesalahpahaman yang bisa berakibat fatal. Diplomasi harus menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan konflik yang bersumber dari perbedaan kepentingan ekonomi dan politik.
Saran bagi kedua pihak adalah untuk menghindari saling serang di ruang publik dan fokus pada penyelesaian isu strategis melalui perundingan damai. Dunia tidak memerlukan ancaman baru, melainkan komitmen baru terhadap perdamaian dan stabilitas global. (*)