WASHINGTON EKOIN.CO – Defisit anggaran Amerika Serikat (AS) pada Juli 2025 melonjak hampir 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menembus US$ 291 miliar atau setara Rp 4.770 triliun. Kenaikan tajam ini dipicu pengeluaran pemerintah yang tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan pendapatan. Bergabung di WA NEWS EKOIN
Data Departemen Keuangan AS mencatat, defisit Juli 2025 naik US$ 47 miliar atau sekitar 19 persen dibanding Juli 2024. Kenaikan ini menjadi sorotan karena terjadi meski penerimaan negara turut meningkat, namun tetap tak mampu mengimbangi laju belanja negara.
Defisit AS Capai Rekor Bulanan
Penerimaan pemerintah AS pada Juli tercatat sebesar US$ 338 miliar, naik 2 persen atau US$ 8 miliar dari tahun lalu. Namun, pengeluaran membengkak hingga US$ 630 miliar, melonjak 10 persen atau US$ 56 miliar, dan menjadi rekor tertinggi untuk bulan Juli.
Meski pertumbuhan pendapatan tercatat positif, laju pengeluaran yang jauh lebih tinggi membuat defisit semakin melebar. Departemen Keuangan menjelaskan bahwa kenaikan pengeluaran sebagian besar berasal dari pembayaran program jaminan sosial, layanan kesehatan, dan bunga utang nasional.
Bulan Juli tahun ini juga memiliki jumlah hari kerja lebih sedikit dibandingkan tahun lalu. Hal ini memengaruhi pencatatan penerimaan pajak dan belanja pemerintah. Namun, menurut Departemen Keuangan, penyesuaian terhadap perbedaan hari kerja hanya menurunkan defisit menjadi sekitar US$ 271 miliar.
Tarif dan Kebijakan Tak Redam Defisit
Peningkatan defisit ini terjadi di tengah upaya pemerintah AS memberlakukan tarif impor lebih tinggi untuk menekan defisit perdagangan dan fiskal. Namun, kebijakan tersebut dinilai belum mampu mengubah tren pembengkakan anggaran.
Analis ekonomi di Washington menilai, perbedaan laju pertumbuhan penerimaan dan pengeluaran menjadi faktor kunci di balik lonjakan defisit. “Ketika pengeluaran tumbuh dua kali lipat dari penerimaan, defisit akan semakin sulit dikendalikan,” kata seorang ekonom senior.
Departemen Keuangan menegaskan bahwa meski ada faktor musiman, lonjakan defisit ini menunjukkan tantangan struktural dalam pengelolaan anggaran. Jika tren ini berlanjut, beban bunga utang akan semakin menekan ruang fiskal pemerintah di tahun-tahun mendatang.
Beberapa pakar memperingatkan bahwa defisit tinggi dapat memengaruhi daya saing ekonomi AS, terutama jika investor global mulai mempertanyakan keberlanjutan fiskal negara tersebut. Nilai tukar dolar dan imbal hasil obligasi pemerintah pun berpotensi terdampak.
Laporan keuangan bulanan ini menjadi pengingat bahwa kebijakan fiskal perlu dikaji ulang. Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit antara menahan pengeluaran atau meningkatkan penerimaan, di tengah tekanan ekonomi dan politik domestik.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak sosial dari pengetatan fiskal. Pemangkasan belanja sosial dapat memicu protes, sementara kenaikan pajak berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Tren defisit ini menegaskan bahwa kebijakan tarif yang digadang-gadang mampu memperkuat neraca fiskal belum membuahkan hasil nyata. Para pengamat menyarankan reformasi pajak dan efisiensi belanja sebagai langkah awal.
Selain itu, proyeksi ke depan menunjukkan bahwa pengeluaran untuk kesehatan, jaminan sosial, dan bunga utang akan terus meningkat. Tanpa langkah pengendalian, defisit bisa menembus angka lebih tinggi pada kuartal mendatang.
Situasi ini juga menempatkan Federal Reserve dalam posisi sulit. Suku bunga yang tinggi membuat biaya bunga utang pemerintah semakin berat, namun penurunan suku bunga bisa memicu inflasi yang merugikan.
Di sisi politik, defisit yang membengkak dapat menjadi amunisi bagi oposisi untuk mengkritik kebijakan fiskal pemerintah. Perdebatan di Kongres terkait anggaran diperkirakan akan memanas menjelang pembahasan APBN tahun depan.
Meski begitu, sebagian ekonom tetap optimistis bahwa dengan reformasi kebijakan yang tepat, defisit bisa ditekan secara bertahap. Kuncinya adalah keseimbangan antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjaga keberlanjutan fiskal.
- Defisit AS pada Juli 2025 melonjak signifikan menjadi US$ 291 miliar.
- Kenaikan pengeluaran jauh melampaui pertumbuhan penerimaan.
- Tarif impor belum mampu menahan pembengkakan defisit.
- Tantangan fiskal bersifat struktural dan membutuhkan reformasi.
- Risiko ekonomi dan politik meningkat jika tren berlanjut.
- Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan fiskal secara menyeluruh.
- Efisiensi belanja publik harus diprioritaskan.
- Reformasi pajak dapat meningkatkan penerimaan negara.
- Pengelolaan utang harus lebih hati-hati.
- Kolaborasi antara eksekutif dan legislatif penting untuk keberlanjutan fiskal.
( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v