Jakarta EKOIN.CO – Keberlangsungan industri menjadi sorotan utama dalam respons buruh terhadap kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan pajak pada 2026. Serikat pekerja menilai keputusan ini positif, tetapi mendesak agar konsistensi juga berlaku pada tarif cukai, terutama Cukai Hasil Tembakau (CHT), demi menjaga sektor padat karya serta lapangan kerja jutaan masyarakat kecil.
Ikuti berita terbaru EKOIN di WA Channel kami
Ketua Umum Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto, menegaskan pentingnya konsistensi kebijakan fiskal agar buruh memiliki kepastian. Ia menyebut industri tembakau bukan hanya objek pungutan negara, melainkan bagian penting dari ekosistem ekonomi nasional.
“Kami menyambut baik kebijakan fiskal yang tidak menaikkan pajak pada 2026. Namun, kami juga berharap kebijakan tersebut berlaku secara konsisten terhadap cukai, khususnya cukai rokok, agar para pekerja dan keluarganya memiliki kepastian,” ujar Sudarto, Minggu (14/9).
Buruh Desak Keberlangsungan Industri Tembakau
Sudarto menilai moratorium kenaikan cukai rokok selama tiga tahun ke depan dapat menjadi langkah strategis dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi nasional. Menurutnya, sektor ini masih menjadi tumpuan hidup banyak keluarga kecil, terutama ketika daya beli menurun dan angka pengangguran meningkat.
Ia juga berharap Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, dapat mendengarkan aspirasi pekerja. “Kami berharap Pak Menteri melihat industri ini bukan sekadar objek pungutan negara, tetapi bagian penting dari ekosistem ekonomi nasional,” tambahnya.
Desakan ini lahir karena sektor tembakau menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Para buruh menginginkan adanya jaminan keberlangsungan industri yang selama ini menopang perekonomian lokal di berbagai daerah.
Selain itu, penundaan kenaikan tarif cukai diyakini memberi waktu bagi pemerintah untuk memperkuat mekanisme pengawasan terhadap praktik ilegal, sehingga tidak hanya bergantung pada kebijakan fiskal berupa tarif tinggi.
Pengamat Ingatkan Perlu Reformasi Fiskal
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Elizabeth Kusrini, menilai keputusan menahan pajak sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap risiko sosial dan ekonomi. Namun ia menekankan bahwa kebijakan tersebut perlu dibarengi reformasi tata kelola fiskal.
“Menahan tarif bukan berarti pasif. Pemerintah tetap perlu melakukan penguatan sistem perpajakan, termasuk pembaruan data dan penegakan hukum terhadap penghindaran pajak,” kata Elizabeth.
Terkait cukai rokok, Elizabeth menjelaskan bahwa penundaan kenaikan tarif bisa membantu menjaga daya beli masyarakat serta melindungi sektor padat karya dari dampak negatif ekonomi.
“Kenaikan cukai di tengah pelemahan daya beli bisa berdampak negatif bagi sektor industri dan tenaga kerja, serta membuka celah bagi peredaran rokok ilegal,” ujarnya.
Ia menambahkan, strategi yang lebih tepat adalah memaksimalkan penerimaan negara melalui pengawasan dan penindakan terhadap peredaran rokok ilegal. Dengan begitu, industri tetap berjalan dan negara tidak kehilangan potensi penerimaan.
Keputusan pemerintah dianggap langkah taktis dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan penerimaan negara dan perlindungan lapangan kerja. Meski demikian, konsistensi dan pengawasan menjadi kunci agar kebijakan tersebut efektif.
Pemerintah diharapkan tidak hanya mempertahankan kebijakan fiskal tanpa kenaikan tarif, tetapi juga aktif mengawal reformasi fiskal agar dampaknya terasa lebih luas.
Kebijakan ini sekaligus menjadi ujian awal bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam menata ulang arah kebijakan fiskal yang pro-rakyat sekaligus mendukung keberlangsungan industri.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v