Jakarta EKOIN.CO – Sebanyak 60.000 barel bahan bakar minyak (BBM) impor yang diharapkan menjadi simbol kolaborasi baru antara Pertamina dan jaringan SPBU swasta, justru berakhir tanpa pembeli. Kargo tersebut, yang awalnya ditawarkan untuk membuka peluang kerja sama, akhirnya kembali harus diserap oleh Pertamina sendiri. Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai masa depan kemitraan distribusi energi di Indonesia.
Gabung WA Channel EKOIN untuk berita terbaru
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa bahan bakar impor yang dimaksud berupa base fuel atau bahan bakar murni tanpa campuran. Dari total 100.000 barel yang ditawarkan, hanya sekitar 40.000 barel yang terserap melalui jaringan distribusi non-Pertamina. Sementara 60.000 barel sisanya, tidak diminati oleh SPBU swasta seperti Shell, Vivo, maupun BP.
BBM impor sulit diterima SPBU swasta
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, upaya membuka pasar bersama ini bertujuan menciptakan iklim kompetisi sehat di sektor energi nasional. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan tantangan berbeda. “Kita ingin ada kolaborasi, bukan kompetisi yang saling menjatuhkan. Tapi memang belum semua pihak siap,” ujar Bahlil dalam keterangannya di Jakarta.
Menurut pengamat energi, rendahnya minat SPBU swasta membeli BBM impor dari Pertamina dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk perbedaan harga dan strategi pasokan masing-masing perusahaan. Para pemain global disebut cenderung mengandalkan jalur impor mandiri, sehingga kurang tertarik membeli dari stok yang ditawarkan Pertamina.
Sementara itu, Pertamina harus menyerap kembali BBM yang ditolak untuk menjaga stabilitas pasokan nasional. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari tanggung jawab perusahaan pelat merah dalam memastikan ketersediaan energi di seluruh wilayah Indonesia.
Tantangan distribusi energi ke depan
Kondisi ini memunculkan perdebatan mengenai sejauh mana model kolaborasi antara Pertamina dan SPBU swasta bisa berjalan efektif. Tanpa adanya kesepahaman harga maupun kepastian regulasi, risiko BBM impor kembali menumpuk di gudang penyimpanan cukup besar.
Selain itu, perbedaan standar produk menjadi kendala lain. Beberapa SPBU swasta disebut lebih memilih memasok langsung dari negara asal yang sesuai dengan spesifikasi bahan bakar mesin kendaraan di pasar Indonesia. Hal ini membuat tawaran Pertamina kurang kompetitif meski jumlahnya melimpah.
Bahlil menambahkan, pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap mekanisme distribusi agar tidak ada lagi kasus serupa di masa depan. “Kita tidak boleh membiarkan pasokan energi menumpuk tanpa manfaat. Perlu ada mekanisme yang lebih fleksibel,” katanya.
Sementara itu, pihak Pertamina belum memberikan pernyataan resmi mengenai kerugian atau potensi dampak finansial dari serapan BBM impor yang tidak tersalurkan tersebut. Namun, sejumlah analis menilai, kondisi ini dapat menambah beban biaya penyimpanan dan logistik perusahaan.
Jika tidak ada perubahan kebijakan, maka peluang kolaborasi distribusi energi antara Pertamina dan SPBU swasta masih akan berjalan tersendat. Pasar BBM nasional yang terus tumbuh membutuhkan solusi lebih terbuka dan saling menguntungkan.
Situasi ini sekaligus menjadi peringatan bahwa sektor energi tidak hanya bergantung pada ketersediaan barang, tetapi juga pada ekosistem distribusi yang sehat. Pemerintah, Pertamina, dan pelaku swasta perlu duduk bersama menyusun mekanisme yang lebih realistis agar BBM impor tidak kembali “yatim piatu”.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v