Nampo EKOIN.CO –Korea Utara dilaporkan tengah membangun kapal perang terbesar dan tercanggih dalam sejarah militernya. Gambar satelit terbaru menunjukkan aktivitas konstruksi intensif di galangan kapal Nampo, sekitar 60 kilometer dari Pyongyang, sejak awal April 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Citra satelit dari Maxar Technologies dan Planet Labs pada 14 April 2025 mengungkap adanya struktur besar yang diperkirakan sebagai lambung kapal sepanjang 140 meter. Menurut analisis dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), kapal tersebut merupakan fregat dengan rudal berpemandu, yang dirancang sebagai bagian penting dari modernisasi angkatan laut Korea Utara.
Dilansir dari CNN, kapal ini kemungkinan merupakan bagian dari kelas Choe Hyon, yang dikembangkan sebagai jawaban Korea Utara atas dominasi maritim di Asia Timur. Struktur kapal menunjukkan ruang untuk peluncur rudal vertikal (VLS), radar phased-array, serta dek helikopter, menandakan teknologi canggih yang sedang diadopsi.
Dalam penjelasan CSIS, analis Joseph Bermudez dan Jennifer Jun menyatakan bahwa kehadiran kapal ini bisa menggeser keseimbangan militer kawasan. “Ini bukan kapal perang biasa. Ini kapal dengan kapasitas strategis,” ujar Bermudez seperti dikutip CNN.
Dibandingkan kapal perusak kelas Arleigh Burke milik Amerika Serikat yang berukuran sekitar 154 meter, panjang kapal Korea Utara ini hanya terpaut sedikit. Namun yang membuatnya menonjol adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan rudal jarak jauh dan sistem tempur modern di satu platform.
Konstruksi berlangsung tertutup, dengan penggunaan netting besar di atas dermaga galangan, seperti terpantau dalam citra satelit tanggal 6 April 2025. Ini menunjukkan usaha untuk menyembunyikan detail desain dari pengintaian luar.
Sistem Persenjataan dan Kemungkinan Aliansi Teknologi
Kapal tersebut diyakini akan dilengkapi dengan sistem peluncur rudal balistik dan konvensional, serta radar canggih yang sebelumnya belum pernah digunakan oleh Korea Utara. Kemungkinan besar, sebagian teknologi tersebut berasal dari dukungan luar, seperti Rusia dan Cina, sebagaimana disebut dalam laporan merahputih.com.
Mantan perwira Angkatan Laut Korea Selatan, Kim Duk-ki, mengatakan bahwa kerja sama militer dengan Rusia dapat mempercepat adopsi teknologi mutakhir. Ia juga memperkirakan bahwa pengaruh geopolitik menjadi salah satu pendorong utama pengembangan kapal ini.
Meski terlihat sangat ambisius, pembangunan kapal ini menghadapi tantangan serius. Integrasi sistem senjata, radar, sensor, dan perangkat lunak tempur modern merupakan proses yang kompleks dan mahal. Menurut Carl Schuster, pensiunan perwira Angkatan Laut AS, Korea Utara harus melewati hambatan teknologi yang sangat besar agar kapal tersebut dapat dioperasikan secara efektif.
Di sisi lain, peluncuran kapal kelas Choe Hyon pertama telah dilakukan pada 25 April 2025, sedangkan kapal kedua, Kang Kon, baru diluncurkan pada 12 Juni 2025 setelah mengalami kegagalan peluncuran sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa program pengembangan berjalan intensif meskipun ada hambatan teknis.
Radar dan struktur atas kapal menunjukkan bahwa desainnya dipengaruhi oleh kapal tempur modern dari Rusia. Sumber dari indomiliter.com menyebutkan bahwa pemasangan radar array kemungkinan terinspirasi dari sistem yang digunakan oleh kapal perang Rusia terbaru.
Modernisasi Militer Laut dan Tantangan Operasional
Korea Utara dalam beberapa tahun terakhir memang gencar mengembangkan kekuatan lautnya. Selain kapal permukaan, Korea Utara juga diketahui tengah membangun kapal selam rudal balistik, sebagaimana dikutip dari Kompas Internasional.
Dalam konteks ini, pembangunan kapal perang besar tersebut menjadi simbol peningkatan kemampuan militer yang terencana. Namun, masih dipertanyakan apakah Korea Utara memiliki infrastruktur yang cukup kuat untuk mendukung operasi kapal sekompleks ini dalam jangka panjang.
Kim Byung-kee, anggota Komite Intelijen Korea Selatan, menyatakan bahwa biaya pemeliharaan dan pelatihan awak akan menjadi hambatan terbesar. “Kapal seperti ini butuh pelatihan bertahun-tahun, dan pendanaan yang stabil,” ujarnya dikutip dari media Korea Selatan.
Saat ini, struktur utama kapal telah terbentuk, namun sistem elektronik, persenjataan, dan sistem komunikasi belum sepenuhnya terpasang. Para analis meyakini kapal tersebut baru akan menjalani uji laut pada pertengahan atau akhir 2026, tergantung progres instalasi.
Terlepas dari keterbatasan teknis dan ekonomi, proyek ini diprediksi akan terus mendapat prioritas dari Kim Jong Un, mengingat pentingnya simbol militer dalam propaganda domestik dan diplomasi internasional Korea Utara.
Dengan demikian, kapal perang terbaru Korea Utara bukan hanya soal kekuatan senjata, tetapi juga tentang persepsi kekuatan dan ketegangan regional yang semakin meningkat di Asia Timur.
Langkah Korea Utara dalam mengembangkan kapal sebesar ini berpotensi memicu reaksi dari negara-negara tetangga, terutama Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat yang secara aktif memantau pergerakan militer di Semenanjung Korea.
Langkah Korea Utara dalam membangun kapal perang terbesar mereka memperlihatkan ambisi militer yang terus berkembang. Kapal ini memiliki potensi strategis untuk mengubah dinamika keamanan maritim di Asia Timur. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menjadi tantangan baru bagi stabilitas regional.
Namun, meskipun desain dan ukurannya mengesankan, efektivitas kapal ini bergantung pada kemampuan Korea Utara untuk menyatukan berbagai sistem tempur modern. Proses integrasi teknologi menjadi ujian terbesar dalam pengembangan proyek tersebut.
Negara-negara tetangga harus meningkatkan pemantauan dan diplomasi pertahanan agar bisa merespons perkembangan ini secara tepat. Tindakan preventif dan kerja sama intelijen akan sangat dibutuhkan untuk menghindari konflik terbuka.
Sementara itu, pihak internasional perlu mengawasi kemungkinan transfer teknologi militer dari negara-negara besar ke Korea Utara. Hal ini berkaitan langsung dengan implementasi sanksi PBB dan keamanan regional secara keseluruhan.
Bagi kalangan akademisi dan analis militer, fenomena ini menjadi objek studi penting dalam memahami pola modernisasi militer rezim otoriter di tengah isolasi ekonomi. Pendekatan berbasis data satelit dan open-source intelligence (OSINT) akan semakin penting dalam menganalisis tren ini.
(*)