Jakarta, Ekoin.co – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (22/9). Agenda utama dalam persidangan kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi ahli Antoni Budiawan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Antoni Budiawan dihadirkan sebagai ahli oleh penasihat hukum terdakwa. Ia dikenal sebagai pakar di bidang kebijakan ekonomi, ekonomi politik, serta bisnis dan kebijakan bisnis. Dalam persidangan, Antoni menjelaskan secara rinci mengenai urgensi impor gula yang didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu kondisi darurat serta kebijakan antisipatif.
Menurut Antoni, dalam kondisi darurat, kenaikan harga bisa mencapai 20 hingga 40 persen akibat keterbatasan stok. Namun, ia menekankan bahwa impor juga dilakukan secara antisipatif agar kelangkaan tidak terjadi pada periode tertentu, khususnya menjelang bulan April hingga Mei, ketika produksi dalam negeri biasanya menurun drastis.
Keterangan Ahli di Persidangan
Dalam keterangannya, Antoni menyinggung rapat koordinasi pada 7 Desember dan 28 Desember 2015 yang menghasilkan keputusan tentang kebutuhan impor gula. Dari rapat tersebut disepakati bahwa impor harus segera dilakukan untuk memenuhi persediaan awal sebanyak 200 ribu ton, karena stok 800 ribu ton dianggap tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi dari Januari hingga Mei.
BACA JUGA: Sidang Korupsi Impor Gula Hadirkan Ahli Dari Bea Cukai
Rata-rata konsumsi gula nasional berada di angka 250 ribu ton per bulan. Dengan kebutuhan sekitar 1,25 juta ton dalam lima bulan, stok yang ada masih kurang 200 ribu ton. Oleh sebab itu, impor dinilai menjadi langkah antisipatif guna mencegah kelangkaan gula di pasaran pada periode April hingga Mei.
Antoni juga menjelaskan bahwa kebijakan impor tidak selalu dikaitkan dengan kondisi darurat, melainkan bagian dari strategi menjaga ketersediaan pasokan dan stabilitas harga. Hal ini, menurutnya, sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat.
Dalam sidang tersebut, Antoni turut memaparkan struktur perusahaan yang bergerak di bidang pengadaan gula. Ia menyebutkan, total terdapat sekitar 58 perusahaan, baik milik swasta maupun BUMN, yang terlibat dalam industri gula nasional. Perusahaan-perusahaan tersebut terdiri atas produsen berbasis tebu yang tersebar di berbagai daerah, termasuk Lampung.
Pembahasan Tentang Barang Pokok
Lebih lanjut, Antoni menerangkan definisi barang kebutuhan pokok dan barang penting berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Ia menegaskan bahwa gula termasuk dalam kategori substantif yang menguasai hajat hidup orang banyak, meskipun tidak dikonsumsi semua orang setiap hari.
Antoni juga mengaku mengetahui adanya Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 yang mengatur ketersediaan stok dan stabilitas harga. Menurutnya, data yang valid terkait kebutuhan gula harus didasarkan pada data produksi dan konsumsi dari kementerian terkait.
Dalam penjelasannya, Antoni menekankan pentingnya penggunaan data yang akurat untuk menentukan kebutuhan impor. Ia mencontohkan data konsumsi tahun 2016 yang tercatat sebesar 2,46 juta ton, padahal konsumsi nyata diperkirakan lebih dari 3 juta ton. Hal ini terjadi karena sejumlah impor tidak tercatat dalam data resmi.
Antoni juga menyebutkan adanya selisih data konsumsi yang disebabkan distribusi gula impor langsung ke masyarakat tanpa tercatat sebagai data konsumsi resmi. Hal tersebut membuat perhitungan kebutuhan impor sering kali tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Penasihat hukum terdakwa kemudian menanyakan kaitan antara Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 dengan kebijakan impor gula mentah. Menanggapi hal itu, Antoni menjelaskan bahwa data statistik dari berbagai kementerian, termasuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, menjadi rujukan utama untuk menilai kebutuhan dan kekurangan stok.
Ia menambahkan bahwa implementasi kebijakan impor pada tahun 2015 dilakukan bukan hanya untuk menutup kekurangan pasokan, melainkan juga untuk menjaga stabilitas harga di pasar. Hal ini dinilai sebagai langkah yang wajar dalam konteks menjaga kepentingan masyarakat.
Dalam sidang, Antoni menegaskan bahwa kebijakan impor gula yang ditempuh pemerintah pada saat itu bersifat antisipatif. Artinya, keputusan tersebut diambil jauh sebelum kelangkaan benar-benar terjadi. Dengan demikian, langkah itu dianggap sebagai upaya preventif, bukan reaktif.
Lebih jauh, Antoni menilai bahwa data konsumsi sering kali berbeda dengan kondisi nyata. Oleh karena itu, pemerintah harus mengandalkan data resmi yang bersumber dari kementerian terkait. Dengan cara ini, kebijakan yang diambil dapat lebih terukur dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat