Jakarta,EKOIN.CO-Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah menuai penolakan keras masyarakat. Gelombang protes muncul di Kabupaten Pati, Cirebon, Bone, hingga Jombang, setelah tarif PBB melonjak tajam dan dinilai membebani rakyat. Situasi ini mendorong Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan surat resmi kepada seluruh kepala daerah pada Senin (18/8/2025). Ikuti update terkini via WA Channel EKOIN.
Dalam surat tersebut, Tito menekankan dua poin utama terkait kebijakan kenaikan PBB. Pertama, kepala daerah diminta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi warga sebelum memutuskan menaikkan tarif pajak. Kedua, setiap kebijakan kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) wajib ditembuskan ke Kemendagri dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah agar bisa dilakukan review bersama.
Instruksi Tito soal Kenaikan PBB
Tito menjelaskan, surat edaran ini sudah disampaikan melalui rapat virtual dengan seluruh kepala daerah. “Saya sudah mengeluarkan surat edaran, sudah melakukan zoom meeting, (menyampaikan) pada seluruh kepala daerah untuk, yang pertama, agar diperhatikan betul faktor sosial ekonomi masyarakat di daerahnya. Kalau itu memberatkan, maka aturan itu (PBB) dapat ditunda atau dibatalkan,” ujar Tito dalam siaran YouTube Kemenkeu.
Ia menegaskan perlunya keterlibatan gubernur dalam mengkaji ulang kebijakan kenaikan PBB. Dengan adanya surat tembusan ke Kemendagri, pemerintah pusat bisa memberikan masukan apakah kebijakan itu berpotensi memberatkan masyarakat atau tidak.
Pernyataan Tito merespons maraknya aksi penolakan masyarakat di berbagai daerah. Di Pati, Jawa Tengah, kebijakan PBB-P2 sempat naik hingga 250 persen. Meski akhirnya dibatalkan, protes tetap berlanjut dengan tuntutan agar Bupati Sudewo mundur.
Di Cirebon, Jawa Barat, penolakan muncul dari Paguyuban Pelangi Cirebon. Mereka menolak kenaikan PBB yang mencapai 1.000 persen sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024. “Kebijakan ini sangat memberatkan masyarakat dan tidak masuk akal,” ujar Hetta Mahendrati, juru bicara paguyuban.
Aksi Penolakan di Berbagai Daerah
Gelombang protes juga pecah di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kenaikan PBB-P2 hingga 300 persen berujung kericuhan antara mahasiswa HMI dan aparat di depan kantor DPRD Bone. Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinong, menyatakan terkejut dengan kebijakan tersebut karena masih dalam tahap pembahasan. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak memenuhi asas legalitas dan berkomitmen mengawal pembatalannya.
Di Jombang dan Semarang, aksi masyarakat pun mulai menguat. Mereka menilai kenaikan PBB tidak sejalan dengan kondisi ekonomi daerah yang belum pulih sepenuhnya pascapandemi.
Prasetyo, pejabat Kemendagri, memastikan bahwa kenaikan PBB dilakukan berdasarkan pertimbangan daerah masing-masing. “Kalaupun ada rencana atau kebijakan penaikan PBB itu di daerah masing-masing,” ujarnya. Ia menambahkan, koordinasi dengan Mendagri dilakukan setelah gelombang protes bermunculan, bukan sebelumnya.
Menurutnya, diskusi intensif dengan Mendagri dilakukan setelah kebijakan ini menimbulkan masalah serius di lapangan. “Tapi bahwa koordinasinya setelah kemudian kebijakan itu dirasa menimbulkan masalah, nah disitulah kemudian kita berkoordinasi sangat intens,” jelas Prasetyo.
Fenomena kenaikan PBB ini menjadi isu nasional karena serentak terjadi di sedikitnya lima daerah. Warga menilai kebijakan tersebut tidak memperhatikan daya beli masyarakat, apalagi kenaikan yang mencapai ratusan hingga seribu persen.
PBB-P2 sendiri merupakan pajak atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan bangunan di kawasan perkotaan maupun pedesaan. Namun, lahan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan tidak termasuk dalam kategori ini.
Meski beberapa daerah sudah membatalkan kebijakan kenaikan, aksi masyarakat tetap berlangsung. Tuntutan tidak hanya soal pembatalan pajak, tetapi juga pertanggungjawaban kepala daerah yang dianggap gegabah.
Dengan langkah Kemendagri mengeluarkan surat edaran, pemerintah pusat diharapkan bisa lebih terlibat dalam mengawal kebijakan fiskal daerah agar tidak membebani masyarakat secara berlebihan.
Kenaikan PBB di sejumlah daerah telah memicu gejolak sosial yang signifikan. Aksi penolakan warga memperlihatkan keresahan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.
Surat edaran Mendagri menjadi langkah penting untuk memastikan kebijakan pajak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi. Arahan ini sekaligus memperkuat fungsi pengawasan pemerintah pusat.
Masyarakat menilai kenaikan PBB dengan persentase besar tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini. Oleh karena itu, transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan sangat dibutuhkan.
Gelombang protes di Pati, Cirebon, Bone, dan daerah lain menunjukkan adanya kesenjangan komunikasi antara pemerintah daerah dan rakyat. Hal ini perlu diperbaiki melalui mekanisme dialog.
Ke depan, keseimbangan antara kebutuhan fiskal pemerintah daerah dan kemampuan ekonomi masyarakat harus menjadi prioritas agar kebijakan PBB tidak kembali memicu keresahan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v