SAMARINDA, EKOIN.CO- Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Kalimantan Timur mengintensifkan layanan bagi korban kekerasan seksual.
Langkah ini dilakukan melalui penguatan layanan psikososial, pemulihan trauma, dan edukasi publik secara sistematis.
Kepala UPTD PPA Kaltim, Kholid Budhaeri, menjelaskan bahwa peran lembaganya kini tidak terbatas pada pelaporan dan pendampingan hukum semata.
“Peran kami dalam setiap kejadian awalnya hanya pelaporan dan pendampingan hukum kepada korban, namun kini kita perkuat dengan program lainnya,” ujarnya di Samarinda, Senin (9/6/2025).
Menurutnya, peningkatan ini merupakan respons terhadap perubahan sosial pasca-berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Kesadaran Melapor Kian Meningkat
Kholid menegaskan, sejak UU TPKS berlaku, kesadaran masyarakat untuk melapor mengalami peningkatan signifikan.
“UU ini membawa angin segar, karena untuk pertama kalinya negara secara eksplisit mengakui dan menjamin hak-hak korban kekerasan seksual,” ucapnya.
Menurut Kholid, UU ini telah menempatkan korban sebagai fokus utama dan memaksa perangkat daerah bergerak cepat dan terpadu.
Ia menyampaikan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam diskusi implementasi UU Nomor 12 Tahun 2022 di Samarinda.
Jumlah laporan yang diterima UPTD PPA pun menunjukkan peningkatan, seiring membaiknya respons masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
Menjangkau Wilayah Terpencil dan Adat
Namun, tantangan lapangan masih besar, terutama di kawasan pedalaman dan komunitas adat.
“Korban di daerah terpencil sering kali kesulitan menjangkau layanan kami, baik karena akses maupun budaya hukum yang berbeda,” jelas Kholid.
Sebagai solusi, UPTD PPA Kaltim aktif melakukan sinergi lintas sektor untuk memperluas jangkauan layanan.
“Kami bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, psikolog, hingga tokoh adat,” katanya.
Hal ini bertujuan agar semua proses penanganan berjalan cepat, adil, dan berpihak pada korban.
Fasilitas dan SDM Terus Ditingkatkan
UPTD PPA Kaltim juga menyediakan berbagai fasilitas pendukung bagi korban kekerasan seksual.
Layanan tersebut meliputi rumah aman (shelter), hotline aduan 24 jam, dan pendampingan hukum tanpa biaya.
Di sisi internal, peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi fokus utama lembaga ini.
Setiap petugas mendapat pelatihan berkala untuk memahami kondisi psikologis korban secara lebih empatik.
“Kami tekankan agar pendamping tidak menghakimi dan mampu memberikan rasa aman,” jelas Kholid.
Edukasi untuk Lawan Stigma
Salah satu hambatan yang masih sering ditemui adalah stigma sosial terhadap korban.
“Korban sering kali merasa malu atau takut terhadap reaksi lingkungan,” ujar Kholid.
Ia menekankan pentingnya edukasi berkelanjutan agar masyarakat mengubah cara pandang terhadap pelaporan kasus kekerasan.
Langkah berani korban dalam melapor harus dihormati, bukan dijadikan bahan gosip atau penilaian negatif.
“Di sinilah peran keluarga dan masyarakat sangat penting untuk menjadi support system,” tambahnya.
Generasi Muda Jadi Agen Perubahan
Kholid mengajak generasi muda untuk mengambil peran aktif dalam melawan kekerasan.
Menurutnya, anak muda harus berani menyuarakan isu keadilan gender di lingkungan masing-masing.
“Perlindungan terhadap perempuan dan anak adalah tanggung jawab bersama,” tegasnya.
Ia menyebutkan bahwa peran pemuda sangat strategis karena mereka bisa menjadi jembatan informasi.
“Negara sudah hadir lewat UU TPKS, kini giliran kita bergerak bersama,” tuturnya.
Sinergi Lintas Lembaga Makin Dikuatkan
UPTD PPA tak hanya menggandeng lembaga formal, tetapi juga komunitas lokal.
Kerja sama dengan tokoh agama dan adat menjadi pendekatan yang efektif di beberapa wilayah.
Model pendekatan kultural digunakan untuk mengurangi resistensi terhadap proses hukum formal.
“Tokoh adat membantu menjelaskan pentingnya pelaporan dan perlindungan kepada korban,” jelas Kholid.
Dengan metode ini, masyarakat merasa lebih nyaman dan yakin untuk mencari pertolongan.
Data Kasus Jadi Dasar Kebijakan
Peningkatan laporan kekerasan seksual juga mendorong pentingnya pendataan yang akurat.
UPTD PPA menjadikan data kasus sebagai pijakan dalam menyusun kebijakan dan program lanjutan.
Analisis data dilakukan secara berkala untuk memetakan wilayah rawan dan kelompok rentan.
Langkah ini menjadi bagian penting dalam strategi pencegahan kekerasan di masa depan.
“Data bukan hanya angka, tapi cerita penderitaan yang harus ditanggapi serius,” ucap Kholid.
Peran Keluarga Tak Bisa Dikesampingkan
Menurut UPTD PPA, keluarga adalah benteng pertama dalam melindungi perempuan dan anak.
Orangtua dan lingkungan sekitar diimbau untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak.
“Kadang tanda-tanda kekerasan muncul dari perubahan sikap yang tidak biasa,” kata Kholid.
Ia mendorong agar orang dewasa membuka ruang komunikasi aman dengan anak-anak.
“Jangan sampai anak merasa takut atau tidak nyaman saat ingin bercerita,” pesannya.
Harapan Masyarakat Terus Dijawab
Langkah-langkah yang dilakukan UPTD PPA disambut positif oleh masyarakat luas.
Banyak warga mulai memahami pentingnya pelaporan sejak ada akses layanan yang lebih manusiawi.
“Kami merasa lebih berani karena sekarang ada tempat mengadu yang tidak menghakimi,” ujar salah satu warga Samarinda.
Kholid memastikan bahwa semua laporan ditangani secara profesional dan penuh kerahasiaan.
“Korban adalah prioritas kami, mereka berhak mendapat perlindungan yang layak,” tutupnya(*)