Jakarta, EKOIN.CO – Di tengah lautan manusia yang memutih di Padang Arafah, setiap jemaah membawa harapan, doa, dan kerinduan yang sama: diterimanya haji sebagai ibadah terbaik di hadapan Allah SWT. Namun di balik keseragaman itu, tersimpan perjuangan yang berbeda, terutama bagi jemaah perempuan. Mereka datang bukan hanya sebagai tamu Allah, tapi juga sebagai pejuang sunyi yang memikul tanggung jawab ganda—menjalani ibadah agung sekaligus menjaga fitrah sebagai perempuan.
Wukuf di Arafah menjadi hari penting dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini, saat jutaan jemaah dari berbagai negara memadati Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf, yang merupakan puncak dari seluruh rangkaian manasik haji.
Dalam suasana yang penuh kekhusyukan, Mustasyar Diny sekaligus anggota Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Ny. Hj. Badriyah Fayumi, menyampaikan pesan khusus kepada jemaah perempuan. Ia menekankan bahwa haji bagi perempuan merupakan bentuk jihad yang penuh pengorbanan.
“Perempuan yang berhaji telah melakukan pengorbanan besar—meninggalkan keluarga, rutinitas harian, dan menempuh perjalanan panjang demi memenuhi panggilan Ilahi,” ungkap Badriyah kepada para jemaah.
Dalam penjelasannya, ia menyampaikan lima hal penting yang harus diperhatikan oleh jemaah perempuan menjelang wukuf.
Pertama, Badriyah menegaskan bahwa haid bukanlah penghalang untuk mengikuti wukuf. “Perempuan yang sedang haid tetap bisa melaksanakan wukuf. Yang tidak bisa dilakukan hanya tawaf, itu pun bisa dilakukan setelah suci,” jelasnya.
Ia menyarankan agar jemaah yang mengalami haid saat baru tiba di Makkah dan waktu sudah mendekati wukuf, mengubah niat dari haji tamattu’ menjadi haji qiran. “Niatkan haji qiran, ikuti wukuf, lalu lanjutkan rangkaian ibadah. Umrah bisa dilakukan setelah suci,” tambah Badriyah.
Kedua, ia mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan dan kenyamanan selama berada di Arafah. Mengingat panjangnya antrean di toilet, ia menyarankan penggunaan pembalut atau pampers. “Ini bukan soal kenyamanan semata, tapi juga menjaga kesucian pakaian ihram. Setelah ada kesempatan, barulah bersuci dan mengganti,” katanya.
Ketiga, terkait dengan penggunaan masker saat ihram, Badriyah menyebut bahwa secara fikih perempuan memang tidak diperbolehkan menutup wajah dan telapak tangan. Namun, dalam kondisi tertentu seperti cuaca ekstrem atau risiko penyakit, hal itu dibolehkan. “Kalau demi menjaga kesehatan, itu tidak mengapa. Tapi kalau ingin lebih berhati-hati, bisa membayar fidyah dengan puasa tiga hari atau sedekah kepada enam fakir miskin,” terangnya.
Ia juga menambahkan bahwa membuka jilbab di hadapan sesama perempuan tidak termasuk pelanggaran. Namun tetap disarankan menjaga aurat sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.
Keempat, ia mengimbau agar jemaah perempuan menghemat tenaga dan memperbanyak ibadah ringan. “Kita masih punya waktu dua pekan menuju Armuzna. Gunakan waktu ini untuk ibadah yang ringan tapi berpahala besar, seperti zikir, tadarus, sedekah, doa, sabar, dan pengendalian diri,” ujarnya.
Kelima, ia menekankan pentingnya menjaga suasana batin agar tetap khusyuk dan ikhlas. Perbedaan pendapat fikih sering kali memicu perdebatan di antara jemaah. “Pilihlah pendapat yang paling menenangkan hati. Jangan habiskan waktu untuk memperdebatkan hal yang tidak perlu. Fokuslah pada niat dan keikhlasan,” tutur Badriyah.
Menutup pesannya, Badriyah mengajak seluruh jemaah perempuan untuk menjadikan wukuf sebagai momentum spiritual.
“Ketika kita lelah berjalan menuju Jamarat, niatkan sebagai langkah menuju Allah. Ketika kita melepaskan kenyamanan saat ihram, niatkan sebagai tanda cinta kepada-Nya. Semoga semua pengorbanan ini mengantarkan kita menjadi haji yang mabrur,” pungkasnya.