Jakarta, ekoin.co – Terungkap dalam sidang dakwaan perkara korupsi pertamina, perusahaan milik Garibaldi Thohir alias Boy Tohir, PT Adaro Indonesia menerima aliran uang ratusan miliar dari salah satu terdakwa Riva Siahaan.
Nama perusahaan Boy Tohir disebut dalam sidang dakwaan perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) dan Sub holding Pertamina, termasuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Perusahaan milik kakak dari Menpora Erick Thohir itu, disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap terdakwa Direktur Pemasaran Pusat & Niaga Pertamina Patra Niaga periode Oktober 2021-Juni 2023 dan mantan Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
Dalam dakwaan jaksa disebutkan bahwa perbuatan terdakwa Riva Siahaan telah memperkaya suatu korporasi. Salah satunya, PT Adaro Indonesia yang menerima sebesar Rp168.511.640.506 (Rp 168 miliar).
“Perbuatan terdakwa Riva Siahaan telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,” ucap JPU saat membacakan dakwaannya, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).
Jaksa menyatakan dalam surat dakwaan, PT Adaro Indonesia tercatat menerima keuntungan sebesar Rp168 miliar dalam kasus kontrak penjualan solar non subsidi dengan harga di bawah bottom price, bahkan di bawah harga pokok penjualan (HPP).
“Penjualan solar non-subsidi. Memperkaya korporasi sebagai berikut… nama perusahaan PT Adaro Indonesia, jumlah Rp 168.511.640.506,” kata JPU.
Berdasarkan informasi yang beredar di Kejaksaan Agung, pemeriksaan HG terkait kontrak pembelian BBM jenis solar antara PT Adaro dan Pertamina sejak 2018.
Kala itu, Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina dijabat Nicke Widyawati yang baru lengser pada 4 November 2024.
Setiap tahunnya, Adaro mendapat jatah solar sebanyak 500-600 kiloliter sejak 2018. Kemungkinan, solar itu digunakan untuk transportasi dan operasional lainnya di tambang batu bara milik Boy Thohir.
Diketahui, PT Adaro Indonesia merupakan perusahaan induk Adaro Energy, dimiliki oleh pemegang saham publik dan beberapa entitas serta individu, dengan PT Adaro Strategic Investments sebagai pemegang saham pengendali, yang dimiliki oleh keluarga Garibaldi Thohir dan Edwin Soeryadjaya.
Perusahaan batu bara itu, kini resmi mengubah nama perseroan menjadi PT Alamtri Resources Indonesia Tbk pada Rabu, 20 November 2024.
Sejatinya, ada 13 perusahaan swasta lagi yang telah menerima keuntungan dalam perkara tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina.
Perusahaan tersebut antara lain, PT Berau Coal, PT Buma, PT Merah Putih Petroleum, PT Pama Persada Nusantara, PT Ganda Alam Makmur, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, PT Aneka Tambang.
Kemudian, PT Maritim Barito Perkasa, PT Vale Indonesia Tbk, PT Nusa Halmahera Minerals, PT Indo Tambangraya Megah melalui: PT Tambang Raya Usaha Tama, PT Bharinto Ekatama, PT Sinar Nirwana Sari, PT Trubaindo Coal Mining, PT Tunas Jaya Perkasa, dan PT Pura Nusa Eka Persada melalui PT Arara Abadi.
Hasil audit internal dan pemeriksaan jaksa menunjukkan, total keuntungan tidak sah yang diterima ke-14 perusahaan tersebut mencapai Rp 2,544.277.386.935 atau Rp 2,54 triliun.
“Sehingga total kekayaan yang diterima korporasi mencapai Rp2,544.277.386.935 (Rp 2,54 triliun),” tutur jaksa.
Menurut JPU, perbuatan terdakwa Riva Siahaan telah menyimpang dalam pengadaan produk impor kilang atau BBM dan penjualan solar non subsidi tersebut yang bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 12 Undang-Undang (UU) No. 19/2003 tentang BUMN dan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Jaksa memaparkan, terdakwa Riva Siahaan tidak menyusun dan menetapkan pedoman yang mengatur mengenai proses negosiasi harga sebagaimana Surat Keputusan Direktur Utama No. Kpts-034/PNA000000/2022-S0 tanggal 10 Oktober 2022.
Sebagai informasi, Riva Siahaan bersama sejumlah terdakwa lainnya didakwa menandatangani kontrak penjualan solar non-subsidi kepada pihak swasta dengan harga di bawah batas keekonomian.
Harga jual yang ditetapkan jauh lebih rendah dari ketentuan bottom price, bahkan di bawah HPP.
“Para pihak terkait di PT Pertamina (Persero) periode 2018 sampai dengan 2021 serta PT PPN (Pertamina Patra Niaga) periode 2021 sampai dengan 2023 menetapkan harga di bawah harga jual terendah (bottom price) atas solar non-subsidi kepada pembeli swasta tertentu,” papar jaksa.
“Harga penjualan kepada pelanggan tersebut di bawah harga jual terendah, bahkan di bawah harga pokok penjualan (HPP) dan harga dasar solar bersubsidi,” sambung jaksa.
Praktik tersebut dilakukan dengan alasan menjaga pangsa pasar industri. Namun tanpa memperhitungkan profitabilitas dan pedoman tata niaga sebagaimana diatur dalam Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga No. A02-001/PNC200000/2022-S9. (*)