Jakarta, EKOIN.CO –Mantan Kadiv Hubinter Polri, Irjen (Purn) Napoleon Bonaparte, kembali curi perhatian publik lewat pernyataan tajamnya terkait reformasi Polri. Dalam sebuah seminar nasional, Napoleon ibaratkan kewenangan Kapolri saat ini seperti “Dewa Pencabut Nyawa”. Ia menilai, tanpa pembatasan kekuasaan di pucuk pimpinan, upaya reformasi di tubuh kepolisian tidak akan pernah berjalan efektif.
Napoleon tegaskan bahwa reformasi Polri yang tengah digencarkan harus dimulai dari level tertinggi, bukan dari bawah. Menurutnya, sistem hierarki yang terlalu kaku membuat para perwira muda enggan bersuara dan takut berbeda pandangan dengan pimpinan.
“Reformasi polisi ini yang bagus, tapi harus dimulai dari puncak, dari atas. Karena saya yakin, dari bintang tiga ke bawah, semuanya takut sama Kapolri dan tidak mau bertentangan,” ujarnya dalam seminar bertajuk “Ke Arah Mana Reformasi Kepolisian Saat Ini?” di Jakarta, Rabu (8/10/2025),
Dalam pernyataannya yang kemudian ramai dibicarakan, Napoleon menilai kewenangan Kapolri saat ini terlalu absolut. Ia menyebut, jika tidak ada mekanisme kontrol yang jelas, kekuasaan besar di tangan satu orang justru akan menghambat arah reformasi Polri yang sejati.
“Buatlah ketentuan batasi kewenangan Kapolri ini. Jangan lagi seperti dewa pencabut nyawa, seperti yang selama ini kita lakukan,” tegas Napoleon.
Ia ungkapkan, banyak perwira menengah hingga bawah sebenarnya memiliki semangat untuk mendorong perubahan. Namun, mereka terjebak dalam budaya komando yang membuat kritik terhadap atasan dianggap tabu. Akibatnya, inovasi dan pembaruan kebijakan sering kali mandek di tingkat atas.
Napoleon menilai, kultur ketakutan ini menjadi salah satu penghalang utama reformasi Polri. Tanpa keberanian dari para pemimpin di puncak struktur, transformasi hanya akan menjadi jargon belaka.
Acara tersebut juga dihadiri Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana, selaku Kalemdiklat Polri sekaligus Ketua Tim Transformasi dan Reformasi Polri. Kepada Chryshnanda, Napoleon memberikan dorongan langsung agar tidak ragu melanjutkan agenda reformasi meskipun menghadapi tantangan besar.
“Lanjutkan perjuangan. Gaspol, Pak Chryshnanda, Anda sebentar lagi pensiun sama seperti saya, jadi gaspol Pak, jangan malu-malu kucing. Hajar!” seru Napoleon yang disambut tawa para peserta seminar.
Pernyataan itu menunjukkan komitmennya terhadap perubahan struktural di tubuh kepolisian. Napoleon menilai, figur seperti Chryshnanda yang memahami dinamika internal Polri perlu terus diberi ruang untuk membawa semangat reformasi sejati.
Di sisi lain, Chryshnanda sendiri menegaskan bahwa Tim Transformasi Reformasi Polri akan berfokus pada transparansi, akuntabilitas, dan peningkatan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Napoleon juga mengingatkan, tanpa keberanian membatasi kekuasaan dan memperkuat sistem pengawasan internal, reformasi Polri hanya akan menjadi simbolik. Ia menilai, pembenahan harus dimulai dari tata kelola kepemimpinan hingga pola rekrutmen.
Sebagai mantan pejabat tinggi Polri, Napoleon memiliki pengalaman panjang dalam sistem birokrasi kepolisian. Ia pernah memimpin Divisi Hubungan Internasional Polri dan dikenal publik karena keterlibatannya dalam sejumlah kasus besar yang sempat mengguncang institusi tersebut.
Melalui pandangannya, Napoleon seolah mengajak publik untuk menilai ulang keseimbangan kekuasaan di Polri. Baginya, pembatasan kewenangan bukan untuk melemahkan pimpinan, melainkan memastikan sistem berjalan dengan prinsip keadilan dan profesionalisme.
Pandangan tajam Napoleon ini menjadi pengingat bahwa reformasi Polri bukan hanya soal mengganti struktur, tetapi juga mengubah budaya organisasi agar lebih terbuka terhadap kritik dan evaluasi.
Bila wacana pembatasan kekuasaan Kapolri benar-benar diterapkan, hal ini bisa menjadi langkah monumental untuk menciptakan lembaga kepolisian yang lebih transparan dan akuntabel di masa depan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di:
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v