Jakarta, EKOIN.CO – Ketersediaan gas untuk industri melalui skema Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) kembali memicu kegelisahan pengusaha. Meski harga gas “subsidi” dirancang lebih rendah, suplai yang tak konsisten memaksa industri membeli gas pasar dengan tarif jauh lebih tinggi, yang membebani daya saing produk lokal.
Para pelaku usaha menyoroti bahwa meskipun kebijakan HGBT di tujuh sektor industri sudah berjalan, kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Beberapa serikat dan asosiasi industri bahkan mengusulkan agar impor gas industri dilegalkan untuk menambal kekurangan pasokan dan menjaga kesinambungan produksi.
Balada Suplai Gas Untuk Industri
Permasalahan muncul ketika suplai gas HGBT tidak mencapai target. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin, menyebut bahwa para industri penerima subsidi kadang hanya menerima sekitar 60 % dari kebutuhan mereka, sementara sisanya harus dibeli dengan harga pasar senilai USD 16,77 per MMBTU.
Menurut Saleh, selisih harga gas ini memukul margin keuntungan dan membuat produk industri lokal sulit bersaing melawan produk impor. Dia mengungkap usulan agar industri boleh mengimpor gas jika kebutuhan domestik tidak mencukupi.
Namun demikian, pihak pemerintah melalui SKK Migas membantah bahwa terjadi defisit pasokan gas industri. Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto, menyatakan bahwa pasokan gas nasional berada dalam kondisi aman dan tidak ada kekurangan.
Selain itu, Pelaksana Tugas Dirjen Migas, Tri Wirnarno, juga menegaskan bahwa tidak ada masalah pasokan gas. Pernyataan ini mencerminkan adanya ketidakselarasan persepsi antara pihak industri dan regulator energi.
Implikasi Bagi Industri dan Tenaga Kerja
Kementerian Perindustrian menyuarakan kekhawatiran bahwa pengetatan pasokan HGBT bisa berdampak negatif terhadap operasional industri manufaktur. Juru bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, memperkirakan bahwa sejumlah sektor padat energi seperti keramik, petrokimia, baja, pabrik pupuk, dan oleokimia dapat mengalami gagalnya utilisasi pabrik atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Febri menambahkan bahwa kebijakan internal yang menaikkan tarif gas di atas ketetapan presiden—sebagai contoh surcharge USD 16,77 per MMBTU—justru memperparah beban industri.
Data Kemenperin menunjukkan bahwa kebutuhan gas industri nasional mencapai sekitar 2.700 MMSCFD, sedangkan volume HGBT yang tersedia hanya sekitar 1.600 MMSCFD. Dari volume tersebut, sekitar 900 MMSCFD dialokasikan kepada BUMN, sehingga menyisakan kapasitas terbatas untuk industri swasta.
Dalam skenario pengetatan pasokan, sebanyak 134.794 pekerja pada sektor-sektor pengguna HGBT rentan terdampak PHK. Industri keramik sendiri menyumbang lebih dari 40.000 tenaga kerja yang berisiko.
Arah Kebijakan: Impor Gas Atau Reformasi Subsidi?
Permintaan agar impor gas industri dibuka bukan hal baru, tetapi kini makin mengemuka sebagai alternatif sementara bagi industri yang tercekik pasokan dalam negeri. Usulan serupa disampaikan oleh Saleh kepada Dirjen Migas agar industri diberikan fleksibilitas impor jika kebutuhan domestik terbatas.
Namun, kebijakan ini menimbulkan tantangan regulasi dan koordinasi antar lembaga terkait. Negara harus menjaga agar impor tidak mengganggu pasar domestik dan tetap menjaga keamanan gas nasional.
Beberapa pengusaha daerah ikut angkat suara. Di Batam, Ketua Apindo Batam, Rafki Rasyid, menyebut bahwa meskipun pasokan gas telah normal, harga tetap menjadi keluhan utama, yakni di kisaran USD 13–16,5 per MMBTU, jauh di atas skema HGBT.
Ke depan, pemerintah diharapkan menyusun skema agregasi permintaan industri, memperkuat jaringan distribusi gas, dan melakukan monitoring ketat agar skema HGBT bisa berjalan efektif tanpa mengorbankan kelancaran produksi sektor riil.
Pertanyaan besar tersisa: apakah solusi impor gas akan menjadi kebijakan sementara atau sekadar “obat sementara” sebelum reformasi struktural di sektor energi benar-benar terealisasi? Kata kunci dalam perdebatan ini tetap: ketersediaan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmc6mYPIvKh3Yr2v