Jakarta, Ekoin.co – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Dalam persidangan, kuasa hukum terdakwa Tony Wijaya, Hotman Paris Hutapea, meminta agar mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dihadirkan sebagai saksi.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Hotman, kesaksian Tom sangat penting karena sebelum mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, namanya sempat disebut terlibat memperkaya sejumlah perusahaan swasta melalui izin impor gula. “Tom Lembong dituduh melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya orang lain. Memperkaya sembilan korporasi importir ini. Kalau Tom Lembongnya dikatakan proses hukumnya sudah ditiadakan, jadi bagaimana bisa dibuktikan bahwa dia melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya klien kami,” kata Hotman di ruang sidang Tipikor Jakarta.
Senada dengan Hotman, penasihat hukum lainnya juga memohon agar majelis hakim mempertimbangkan kehadiran Tom sebagai saksi. “Mohon maaf yang mulia menurut hemat kami jangan hanya berpatokan kebutuhan jaksa saja. Klien kami berada di sini karena keputusan Thomas Lembong untuk menerbitkan PI termasuk pejabat Kemendag yang lain, termasuk juga bapak Rahmad Gobel (mantan mendag),” ucap salah satu pengacara Tony.
Permintaan ditolak majelis hakim
Majelis hakim menolak permohonan tersebut dengan alasan tidak ada urgensi menghadirkan Tom Lembong. Ketua majelis menegaskan bahwa pembuktian sudah cukup dilakukan oleh jaksa penuntut umum. “Memang beban pembuktian ada pada penuntut umum, tadi JPU sudah cukup, tapi PH belum cukup. Kalau majelis sampai sekarang belum ada hal yang urgent untuk memanggil (Tom Lembong). Kita tidak ingin persidangan berlarut melewati waktu yang ditentukan,” ungkap ketua majelis hakim.
BACA JUGA: Hotman Paris Tanyakan Abolisi di Sidang Tony Wijaya
Sebelumnya, persidangan menghadirkan Charles Sitorus sebagai saksi untuk terdakwa korporasi dalam perkara impor gula. Ia dinyatakan bersalah dan divonis empat tahun penjara serta denda Rp750 juta. Namun, Charles mengajukan banding karena menilai putusan tersebut tidak sesuai dengan fakta persidangan.
Keterangan saksi terkait penugasan impor gula
Dalam pembelaannya, Charles menjelaskan bahwa PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) mendapat penugasan pemerintah untuk membeli 200 ribu ton gula. Penugasan itu berdasarkan surat dari Menteri Perdagangan dan Menteri BUMN. Mitra PT PPI yang ditunjuk adalah PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). Harga pembelian ditetapkan sesuai Harga Pokok Petani (HPP) Rp8.900 per kilogram.
Namun, realisasi pembelian hanya mencapai 57.500 ton. Charles beralasan PTPN dan RNI meminta harga sesuai mekanisme lelang, sekitar Rp10.300 per kilogram, lebih tinggi dari HPP. Hal itu membuat target pemerintah tidak tercapai meskipun skema bagi hasil 65:35 sudah ditentukan.
Dalam sidang, jaksa penuntut umum menekankan peran para terdakwa yang dianggap memperkaya diri sendiri maupun pihak lain melalui manipulasi mekanisme impor gula. Sementara itu, kuasa hukum Tony Wijaya terus berupaya menghadirkan fakta lain dengan menghadirkan saksi tambahan, termasuk permintaan agar Tom Lembong diperiksa.
Proses persidangan ini menjadi perhatian luas publik karena nilai kerugian negara yang besar serta adanya keterkaitan sejumlah pejabat tinggi. Sejauh ini, majelis hakim masih menegaskan bahwa jalannya persidangan harus tetap sesuai jadwal agar tidak melampaui batas waktu.
Kasus dugaan korupsi impor gula ini menyeret beberapa nama dari kalangan pengusaha hingga pejabat. Tony Wijaya, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Angels Products, menjadi salah satu terdakwa utama bersama dengan Direktur PT Makassar Tene Then Surianto Eka Prasetyo, Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama Eka Sapanca, kuasa Direksi PT Duta Sugar International Hendrogiarto A Tiwow, dan Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur Hans Falita Hutama.
Para terdakwa disebut memperoleh keuntungan besar melalui penetapan kuota impor gula yang tidak sesuai mekanisme semestinya. Perkara ini kemudian berkembang setelah sejumlah pihak swasta dilaporkan mendapatkan izin impor dari Kemendag pada periode tertentu.