Jakarta, Ekoin.co – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan, yang lebih dikenal dengan Noel, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Noel diamankan dalam kasus dugaan pemerasan terhadap sejumlah perusahaan terkait pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
“Pemerasan terhadap perusahaan-perusahaan terkait pengurusan sertifikasi K3,” kata Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis (21/8/2025).
Sertifikasi K3 merupakan proses memperoleh pengakuan resmi bahwa individu maupun perusahaan telah memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja yang ditetapkan oleh lembaga berwenang, seperti Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) atau Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Adapun lisensi K3 dikeluarkan oleh Kemnaker sebagai dokumen resmi yang menegaskan pemenuhan syarat dan standar terkait aspek keselamatan kerja.
Lisensi K3 menjadi instrumen penting pemerintah dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap standar K3. Dengan memiliki lisensi ini, perusahaan dapat menunjukkan komitmen mereka dalam melindungi tenaga kerja serta menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman.
Saat ini, Noel bersama sejumlah pihak masih menjalani pemeriksaan intensif selama 1×24 jam untuk menentukan status hukumnya. KPK berjanji akan mengumumkan perkembangan kasus ini melalui konferensi pers resmi.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
KPK diketahui sedang menyidik kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan. Kasus itu melibatkan delapan tersangka yang sebelumnya sudah ditahan, dengan nilai pemerasan yang tercatat sepanjang 2019–2024 mencapai Rp53,7 miliar.
Penangkapan Terkait Kasus RPTKA
Berdasarkan konstruksi perkara, korupsi di Kemnaker ini terjadi secara sistematis melalui pungutan liar berjenjang. Permohonan dokumen RPTKA, yang menjadi syarat wajib bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing, hanya bisa diproses jika pemohon menyetorkan sejumlah uang. Jika tidak, pengajuan diperlambat bahkan diabaikan.
Penyidik KPK mendapati bahwa jadwal wawancara via Skype, sebagai bagian dari proses pengurusan RPTKA, diatur secara manual. Pemohon baru mendapatkan jadwal jika menyetorkan dana ke rekening tertentu. Keterlambatan penerbitan dokumen berisiko menimbulkan denda hingga Rp1 juta per hari bagi perusahaan yang mengajukan.
Pejabat tinggi yang diduga terlibat dalam praktik pemerasan ini antara lain Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Anggraeni. Mereka disebut memerintahkan sejumlah verifikator, seperti Putri Citra Wahyoe, Alfa Eshad, dan Jamal Shodiqin, untuk memungut dana dari para pemohon.
Dana pungutan kemudian didistribusikan kepada pegawai Direktorat PPTKA dan dipakai untuk berbagai kebutuhan pribadi, termasuk pembelian aset dan jamuan makan malam. KPK mencatat sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA ikut menerima aliran dana tersebut.
Daftar Tersangka dan Jumlah Penerimaan
Dalam kasus ini, delapan tersangka resmi sudah ditetapkan dengan rincian penerimaan dana yang berbeda. Haryanto, Dirjen Binapenta dan PKK periode 2024–2025, diduga menerima Rp18 miliar. Staf Direktorat PPTKA Putri Citra Wahyoe menerima Rp13,9 miliar. Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA Gatot Widiartono mendapatkan Rp6,3 miliar.
Selain itu, Direktur PPTKA Devi Anggraeni menerima Rp2,3 miliar. Staf Direktorat PPTKA Alfa Eshad mendapatkan Rp1,8 miliar, sedangkan Jamal Shodiqin menerima Rp1,1 miliar. Wisnu Pramono, Direktur PPTKA periode 2017–2019, menerima Rp580 juta, dan Suhartono, Dirjen Binapenta dan PKK periode 2020–2023, mendapat Rp460 juta.
BACA JUGA
Terungkap, Gempa di Bekasi Dipicu Aktivitas Sesar Baribis
Tidak hanya itu, terdapat dana tambahan senilai Rp8,94 miliar yang dibagikan kepada 85 pegawai Direktorat PPTKA dalam bentuk uang “dua mingguan”. Dana itu juga dipakai untuk keperluan pribadi, termasuk pembelian aset yang tercatat atas nama para tersangka dan keluarganya.
Dari total Rp53,7 miliar dugaan hasil korupsi, KPK menyatakan baru sekitar Rp8,61 miliar yang berhasil dikembalikan ke kas negara. Penyidik masih menelusuri aliran dana, termasuk kemungkinan adanya praktik serupa sebelum tahun 2019.