Jakarta, Ekoin.co – Presiden Prabowo Subianto melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 merencanakan penarikan utang baru sebesar Rp 781,87 triliun. Kebijakan ini disampaikan dalam dokumen Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2026 yang dipublikasikan pada Senin (18/8/2025). Pemerintah menegaskan pengelolaan utang tetap dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, berorientasi pada pembiayaan yang inovatif serta berkelanjutan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam dokumen itu dijelaskan, pembiayaan utang 2026 akan dipenuhi melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan penarikan pinjaman. Rencana ini menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal sekaligus mendukung program prioritas pembangunan nasional.
APBN 2026 dirancang memikul dua agenda penting, yaitu meredam gejolak perekonomian dan menopang keberlanjutan pembangunan. Di tengah ketidakpastian global, kebijakan ekspansif dianggap perlu untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil.
BACA JUGA
Pakar Soroti Desentralisasi dan Otonomi Daerah Indonesia
Pemerintah menegaskan bahwa rancangan strategi pengelolaan utang tahun depan akan diarahkan agar mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembiayaan dengan keberlanjutan fiskal jangka panjang. Dalam pernyataan resmi, disebutkan bahwa utang tidak hanya menjadi beban, melainkan juga instrumen untuk memperluas kapasitas pembangunan.
Dalam catatan pembiayaan utang lima tahun terakhir, tercatat Rp 870,5 triliun pada 2021, Rp 696 triliun pada 2022, Rp 404 triliun pada 2023, Rp 558,1 triliun pada 2024, serta outlook Rp 715,5 triliun pada 2025. Angka yang direncanakan pada 2026 menjadi salah satu yang tertinggi setelah lonjakan pada masa pandemi COVID-19.
Menurut pemerintah, peningkatan utang diperlukan agar APBN dapat menopang pembangunan prioritas, termasuk program-program sosial, infrastruktur, hingga ketahanan ekonomi. “Pemerintah memastikan pengelolaan utang berjalan secara prudent, akuntabel, dan terkendali, sehingga keberlanjutan fiskal tetap terjaga,” tertulis dalam dokumen tersebut.
Strategi Pengelolaan Utang
Dalam dokumen RAPBN, pemerintah menegaskan ada tiga prinsip utama pengelolaan utang. Pertama, akseleratif dengan menjadikan utang sebagai katalis untuk mempercepat pembangunan nasional serta menjaga momentum pertumbuhan.
Prinsip kedua, efisien, dengan memperhatikan biaya minimal dalam penerbitan utang. Hal ini dilakukan melalui pendalaman pasar keuangan, pengembangan instrumen pembiayaan, serta diversifikasi sumber pinjaman.
Prinsip ketiga adalah seimbang. Pemerintah menargetkan portofolio utang tetap optimal dengan menyeimbangkan biaya yang rendah dan risiko yang dapat ditoleransi. Pendekatan ini diharapkan menjaga keberlanjutan fiskal tanpa menambah beban terlalu besar di masa depan.
BACA JUGA
Debut Modric, Mentor Baru Milan Bersinar
Dalam RAPBN 2026, pemerintah memproyeksikan defisit anggaran sebesar Rp 638,8 triliun atau setara 2,48% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut terjadi karena belanja negara dirancang mencapai Rp 3.786,5 triliun, lebih tinggi dibanding target pendapatan negara Rp 3.147,7 triliun.
Kebijakan ini sekaligus menunjukkan bahwa belanja pemerintah pada 2026 difokuskan untuk menopang agenda pembangunan prioritas meskipun harus ditopang oleh pembiayaan utang baru.
Agenda Pembangunan dan Risiko Global
Dalam keterangan resmi, pemerintah menyatakan bahwa APBN 2026 diharapkan mampu menjadi instrumen utama dalam meredam risiko global, mulai dari gejolak harga komoditas hingga ketidakpastian pasar keuangan internasional.
Selain itu, agenda pembangunan nasional yang dibiayai melalui APBN dirancang agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat secara langsung. Program prioritas seperti pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, serta ketahanan pangan menjadi sasaran utama.
Pemerintah menegaskan, strategi pengelolaan utang pada 2026 tidak hanya berorientasi jangka pendek, tetapi juga diarahkan untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Langkah ini menjadi penting mengingat kondisi perekonomian global yang tidak menentu, dengan potensi perlambatan pertumbuhan di sejumlah negara maju yang bisa berdampak terhadap perekonomian domestik.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang ekspansif diharapkan mampu memperkuat daya tahan ekonomi nasional sekaligus menjaga kepercayaan pasar terhadap kebijakan fiskal Indonesia.