Depok EKOIN.CO – Kebijakan desentralisasi dan demokrasi lokal di Indonesia kembali menjadi sorotan dalam diskusi akademik yang berlangsung di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Depok, Rabu (6/8). Dalam forum Brown Bag Discussion (BBD), sejumlah pakar menilai bahwa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah belum sepenuhnya memperkuat demokrasi lokal.
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Syarif Hidayat, menegaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi di Tanah Air masih menunjukkan ambivalensi. Menurutnya, ideologi desentralisasi belum diikuti dengan implementasi teknis yang konsisten. Hal itu menyebabkan demokrasi lokal masih berjalan seragam dan simetris, alih-alih berkembang secara asimetris sesuai kondisi daerah.
Baca juga : World Expo 2025, Vokasi UI Tampil Inovatif
Prof. Syarif menjelaskan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah masih cenderung berkarakteristik state-centre. Dalam sistem negara kesatuan, jelasnya, Indonesia perlu menerapkan kebijakan desentralisasi yang lebih efektif. Reformasi konsep tata kelola desentralisasi juga menjadi keharusan agar demokrasi lokal tidak hanya formalitas.
Ia menekankan pentingnya prinsip-prinsip proper governance yang mencakup aspek pembangunan, demokratis, inklusif secara sosial, serta berakar pada sejarah dan budaya. “Kebijakan desentralisasi masih bersifat pragmatis-parsialistik dan lebih berorientasi pada kepentingan kuasa. Belum tercipta juga sinergi antara rezim desentralisasi dan rezim pilkada. UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah belum ada korelasi yang strategis,” ujar Prof. Syarif.

Tantangan Demokrasi Lokal
Ahli politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Dr. Phil. Panji Anugrah, menambahkan bahwa demokratisasi lokal pasca-Orde Baru membawa dampak negatif berupa kemunculan oligarki lokal. Menurutnya, pembangunan politik di daerah dibatasi undang-undang, namun sering terjadi monopoli oleh elite setempat.
Panji menjelaskan bahwa kontradiksi struktural muncul karena belum tuntasnya pelembagaan politik kepartaian. Tantangan lain yang dihadapi dalam demokrasi lokal ialah politik uang, dinasti politik, serta politisasi birokrasi yang masih marak. “Tantangan dalam demokrasi lokal meliputi politik uang, dinasti politik, dan politisasi birokrasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, tingginya biaya politik menyulitkan munculnya elite baru, sehingga hanya petahana yang berpeluang besar memenangkan kontestasi politik. Kondisi ini makin diperparah dengan kecenderungan penguatan eksekutif dan pelemahan legislatif di daerah. Dampaknya, kebijakan yang dihasilkan sering kali kurang berkualitas dan tidak berpihak pada masyarakat.
Dalam diskusi tersebut, para narasumber sepakat bahwa perbaikan desentralisasi di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah. Perlu ada simplifikasi regulasi lain, termasuk UU Keuangan Daerah, agar pelaksanaan otonomi lebih efektif.
Ketua Klaster Riset DeLOGO FIA UI, Prof. Irfan Ridwan Maksum, menekankan bahwa perbaikan demokrasi lokal menuntut kepemimpinan yang lebih baik dari berbagai pemangku kepentingan. Menurutnya, dorongan terhadap asimetrisitas politik daerah sangat penting untuk membedakan kebutuhan antarwilayah. “Fokus politik nasional seharusnya lebih diarahkan pada pengelolaan politik dan birokrasi di tingkat nasional,” tegas Prof. Irfan.
Penguatan Partisipasi dan Birokrasi
Ketua Klaster Riset PGAR FIA UI, Prof. Eko Prasojo, juga menyampaikan pandangannya dalam forum tersebut. Ia menilai bahwa desentralisasi di Indonesia sejauh ini belum mampu memperkuat demokrasi lokal secara substantif. Penyebab utamanya ialah belum tercapainya kualitas demokrasi yang menyeluruh.
Menurut Prof. Eko, penguatan demokrasi lokal harus berfokus pada dua hal utama: pemberdayaan masyarakat dan penguatan birokrasi pemerintah daerah. Ia menjelaskan bahwa masyarakat perlu diberdayakan agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam politik lokal dan pembuatan kebijakan publik.
Di sisi lain, birokrasi pemerintah daerah harus diperkuat agar mampu memberikan pelayanan publik yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. “Penguatan demokrasi lokal memerlukan dua fokus utama pemberdayaan masyarakat dan penguatan birokrasi pemda,” jelas Prof. Eko.
Forum diskusi BBD yang rutin diselenggarakan FIA UI ini menjadi ruang bagi pakar, praktisi, dan akademisi untuk membahas isu-isu nasional maupun global. Dalam edisi kali ini, tema yang diangkat adalah “Demokrasi Lokal, Partisipasi Masyarakat dan Public Trust dalam Pemerintahan Daerah.”
Selain para profesor, diskusi juga menghadirkan moderator Dr. Sidik Pramono, dosen FIA UI. Sementara itu, ahli partisipasi lokal dan kepercayaan publik, Desy Hariyati, M.A., turut menjadi pembicara dalam acara tersebut.
Acara ini dihadiri puluhan peserta yang antusias mengikuti jalannya diskusi. Banyak di antara mereka memberikan pertanyaan mengenai praktik desentralisasi yang belum maksimal dan peluang perbaikan tata kelola pemerintahan di daerah.
Para peserta menilai bahwa forum ini membuka wawasan baru tentang hubungan antara regulasi, praktik politik lokal, serta partisipasi masyarakat. Dengan begitu, pembahasan tidak hanya bersifat akademik, melainkan juga menyentuh realitas di lapangan.
Diskusi ini juga menghasilkan pandangan bahwa demokrasi lokal di Indonesia membutuhkan reformasi menyeluruh. Hal itu tidak cukup hanya dilakukan dengan perubahan regulasi, melainkan juga harus dibarengi perbaikan kultur politik dan birokrasi.
Sebagai penutup, seluruh pembicara sepakat bahwa upaya memperkuat demokrasi lokal adalah tanggung jawab bersama. Negara, masyarakat, dan akademisi perlu bergandengan tangan agar desentralisasi benar-benar memberikan manfaat nyata bagi rakyat.
Pada akhirnya, diskusi BBD ini menegaskan kembali urgensi reformasi desentralisasi di Indonesia. Dengan kolaborasi yang lebih kuat, demokrasi lokal diharapkan tidak hanya berjalan prosedural, tetapi juga substantif.
Masyarakat harus memiliki ruang lebih luas dalam menentukan arah kebijakan, sementara pemerintah daerah dituntut untuk transparan dan akuntabel. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi kunci tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik di tingkat lokal.
Dengan demikian, kebijakan desentralisasi di Indonesia akan lebih kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial dan budaya di setiap daerah. Harapan besar muncul agar tata kelola demokrasi lokal ke depan lebih matang dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Kesimpulannya, penguatan demokrasi lokal memerlukan sinergi berbagai pihak, bukan hanya pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga masyarakat sipil. Perubahan regulasi harus sejalan dengan perbaikan institusional agar tidak berhenti pada tataran formal.
Hanya dengan langkah-langkah konkret tersebut, desentralisasi dapat menjadi instrumen utama dalam memperkokoh demokrasi di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat dituntut untuk sama-sama berperan aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi yang inklusif dan berkeadilan.
( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v