Jakarta, EKOIN.CO – Rencana belanja pertahanan Indonesia untuk tahun fiskal 2026 menjadi sorotan utama menyusul pidato Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2025 di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam pidatonya mengenai Rencana Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dan Nota Keuangannya, pemerintah mengusulkan total anggaran sebesar Rp 3,786 kuadriliun. Secara spesifik, Kementerian Pertahanan (Kemhan) diusulkan mendapatkan alokasi belanja sebesar Rp 185 triliun.
Jumlah yang diajukan ini menunjukkan peningkatan signifikan, yakni Rp 18 triliun, dari pagu indikatif sebesar Rp 167,4 triliun yang tercantum dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 yang dirilis oleh Kementerian Keuangan pada Mei 2025. Perlu diketahui, angka pasti alokasi anggaran pertahanan tahun anggaran 2026 masih harus menantikan persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR dalam beberapa bulan ke depan.
Sesuai dengan dokumen KEM-PPKF 2026 dan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2026, salah satu dari delapan strategi jangka menengah untuk mewujudkan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan sejahtera adalah pertahanan semesta. Dalam implementasinya, penguatan pertahanan ini mengadopsi postur Optimum Essential Force (OEF), sebuah kelanjutan dari Minimum Essential Force (MEF) yang telah berlaku selama periode 2010 hingga 2024. Postur OEF ini juga tercermin dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 untuk Kemhan, di mana pelaksanaannya diperkirakan akan bersaing dengan belanja lain di sektor pertahanan.
Salah satu hal menarik dari usulan alokasi anggaran Kemhan senilai Rp 185 triliun adalah adanya tanda bintang, yang diikuti oleh keterangan bahwa “sebagian dicadangkan”. Alokasi sebesar Rp 185 triliun tersebut merupakan bagian dari usulan belanja fungsi pertahanan sebesar Rp 335,25 triliun, yang mencakup baik Rupiah Murni maupun Pinjaman Luar Negeri (PLN). Belanja fungsi pertahanan sendiri terbagi untuk tiga kementerian/lembaga: Kemhan, Dewan Pertahanan Nasional, dan Lembaga Ketahanan Nasional. Dapat dipastikan bahwa 100 persen alokasi PLN bagi fungsi pertahanan akan diserap oleh Kemhan, bukan hanya untuk modernisasi kekuatan pertahanan melalui pengadaan sistem senjata, tetapi juga untuk program pemeliharaan dan perawatan, yang akan ditangani oleh Badan Pemeliharaan dan Perawatan Pertahanan yang baru dibentuk.
Prioritas belanja pertahanan pada tahun anggaran 2026 meliputi penguatan pertahanan keamanan melalui modernisasi, pemeliharaan, dan perawatan sistem senjata, serta penguatan komponen utama, cadangan, dan pendukung. Kedua kegiatan ini diperkirakan akan menyedot alokasi terbesar dari delapan prioritas belanja pertahanan yang ada, termasuk pengembangan kapasitas industri pertahanan dalam negeri serta pencegahan kejahatan siber dan terorisme.
Data menunjukkan bahwa realisasi belanja pertahanan kerap melampaui pagu yang ditetapkan. Sebagai contoh, meskipun pagu anggaran pertahanan untuk tahun 2024 adalah Rp 139,26 triliun, realisasinya mencapai Rp 190,461 triliun, jauh di atas outlook Kementerian Keuangan. Demikian pula, alokasi anggaran 2025 sebesar Rp 166,3 triliun memiliki outlook sebesar Rp 247,525 triliun. Dengan pola ini, sangat mungkin outlook belanja pertahanan pada 2026 akan jauh di atas pagu yang disetujui.
Sumber pendanaan tambahan ini diduga kuat berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN), sebuah praktik yang diduga akan terus berlanjut pada 2026. Hal ini untuk mendukung program penguatan komponen utama yang belum rampung, seperti pembentukan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP), 20 Brigade BTP, dan enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru. Tanpa BA BUN, outlook anggaran 2025 mustahil mencapai angka Rp 247,5 triliun, mengingat adanya program pemekaran organisasi TNI dan belanja terkait lainnya.
Penggunaan BA BUN juga menjadi solusi untuk pengadaan senapan serbu dalam jumlah besar, yang dibutuhkan untuk melengkapi satuan-satuan baru. Isu ini secara langsung menghubungkan prioritas penguatan komponen utama dengan modernisasi sistem senjata. Lebih lanjut, masih menjadi pertanyaan apakah alokasi anggaran 2026 akan memberikan prioritas khusus pada pengadaan, meskipun RAPBN mencantumkan alokasi PLN.
Selain itu, apakah dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) akan mendapatkan prioritas dalam pos belanja modal untuk mengaktifkan puluhan kontrak pembelian dan pemeliharaan sistem senjata warisan MEF? Tanpa ketersediaan RMP, sulit untuk mengaktifkan kontrak-kontrak tersebut, karena pemberi pinjaman mungkin tidak akan memberikan pinjaman hingga 100 persen dari nilai program. Atau, apakah BA BUN akan kembali digunakan sebagai sumber dana RMP pada 2026?
Di sisi lain, aktivasi kontrak akuisisi baru sesuai DRPLN-JM 2025-2029 masih harus menghadapi tantangan kondisi fiskal pada 2026. Pengalaman MEF menunjukkan bahwa rentang waktu antara penandatanganan kontrak dan aktivasi paling cepat adalah dua tahun. Sementara itu, penyelesaian loan agreement bukanlah hal mudah, sebab Kementerian Keuangan harus selalu berhati-hati dalam mengelola utang, termasuk saat membuat utang baru.