JAKARTA, EKOIN.CO – Indonesia hingga kini belum memiliki jet tempur generasi kelima F-35 buatan Amerika Serikat. Ada beberapa alasan strategis yang membuat pemerintah belum menjadikan pesawat siluman tersebut sebagai pilihan utama, mulai dari faktor politik, harga, hingga strategi pertahanan jangka panjang.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Selektivitas Amerika Serikat dalam Ekspor Jet Tempur
F-35 dikenal sebagai salah satu jet tempur paling modern di dunia, namun Washington sangat selektif dalam melepasnya. Pesawat ini lebih banyak dijual ke negara-negara sekutu dekat Amerika Serikat, seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Israel. Indonesia yang menjalankan politik luar negeri bebas aktif dinilai belum memenuhi syarat strategis untuk mengoperasikan F-35.
Selain itu, kedekatan Indonesia dengan pemasok senjata lain seperti Rusia dan Prancis menjadi pertimbangan bagi Amerika Serikat. Washington menilai berbagi teknologi sensitif F-35 ke negara yang tidak sepenuhnya dalam lingkaran sekutunya berisiko tinggi.
Biaya Tinggi dan Pilihan Jet Tempur Alternatif
Faktor biaya juga menjadi alasan utama. Harga per unit F-35 diperkirakan mencapai USD 80 hingga 100 juta atau lebih dari Rp 1,2 triliun. Belum termasuk biaya pemeliharaan, logistik, serta pelatihan yang dipandang memberatkan anggaran pertahanan Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah memilih jalan lain dengan memesan jet tempur Dassault Rafale dari Prancis dan ikut serta dalam pengembangan KF-21 Boramae bersama Korea Selatan. Kedua opsi ini dianggap lebih realistis secara harga maupun dukungan industri pertahanan.
Pakar pertahanan menilai, strategi diversifikasi ini penting agar Indonesia tidak hanya bergantung pada satu negara pemasok. “Pilihan pemerintah masuk akal untuk menjaga fleksibilitas politik dan militer,” ujar salah satu pengamat militer.
Program KF-21 sendiri digadang sebagai investasi jangka panjang yang memungkinkan industri dalam negeri memperoleh transfer teknologi. Sementara Rafale dipilih untuk memperkuat kekuatan udara dalam jangka menengah.
Selain itu, pemerintah juga menimbang Eurofighter Typhoon yang ditawarkan Austria. Opsi ini masih dalam kajian, namun menjadi bagian dari strategi Indonesia memperkuat armada tanpa harus menunggu persetujuan politik dari Amerika Serikat.
Dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan jet tempur yang andal tetapi tetap terjangkau biaya operasionalnya. Langkah tersebut diyakini lebih relevan dibanding mengejar F-35 yang memiliki konsekuensi logistik besar.
Sementara itu, sejumlah analis menegaskan bahwa meski tidak mengoperasikan F-35, TNI AU masih bisa menjaga kedaulatan udara dengan kombinasi Rafale, KF-21, dan alutsista lain yang terus dimodernisasi.
Ke depan, pemerintah menargetkan peningkatan kekuatan udara yang berimbang, dengan tidak hanya mengejar kecanggihan, tetapi juga mempertimbangkan faktor keberlanjutan operasional.
Dengan demikian, ketiadaan F-35 bukan berarti kelemahan, melainkan bagian dari strategi Indonesia merancang kekuatan militer yang sesuai kebutuhan regional dan kemampuan anggaran.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v