Yerusalem EKOIN.CO – Pemerintah Israel kembali memantik kontroversi internasional setelah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengumumkan dimulainya kembali proyek permukiman di area E1, wilayah strategis yang menghubungkan Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Proyek ini dinilai sebagai langkah untuk mengubur peluang berdirinya negara Palestina merdeka. Gabung WA Channel EKOIN
Langkah tersebut diumumkan Smotrich pada Kamis (14/8) di lokasi rencana pembangunan permukiman Maale Adumim. Menurutnya, rencana ini telah disepakati bersama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Presiden AS Donald Trump, meskipun belum ada konfirmasi resmi dari keduanya.
“Siapapun di dunia yang mencoba mengakui negara Palestina hari ini akan mendapatkan jawaban kami di lapangan. Bukan dengan dokumen atau pernyataan, tetapi dengan fakta – fakta rumah, fakta lingkungan,” ujar Smotrich seperti dikutip Reuters.
Kantor Smotrich menyatakan rencana tersebut akan membangun 3.401 unit rumah bagi pemukim Israel, menghubungkan permukiman di Tepi Barat dengan Yerusalem. Proyek E1 ini dijadwalkan efektif dimulai Rabu pekan depan.
Kecaman Dunia terhadap Permukiman Palestina
Pemerintah Palestina bereaksi keras. Juru bicara Presiden Palestina, Nabil Abu Rudeineh, mendesak Amerika Serikat menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan pembangunan tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui juru bicara Stephane Dujarric turut menyerukan pembatalan proyek E1. “Ini akan mengakhiri prospek solusi dua negara. Permukiman bertentangan dengan hukum internasional dan semakin mengakar pendudukan,” tegasnya.
Uni Eropa pun menyatakan penolakannya. Juru bicara Komisi Eropa, Anitta Hipper, menegaskan aneksasi wilayah adalah ilegal dan setiap perubahan wilayah harus melalui kesepakatan politik.
Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, juga mendesak penghentian rencana tersebut. Ia menyebut proyek E1 berpotensi membelah masa depan negara Palestina dan melanggar hukum internasional secara terang-terangan.
Proyek E1 dan Dampak Strategisnya
Pembangunan di E1 telah dibekukan sejak 2012 dan kembali ditunda pada 2020 karena tekanan internasional, terutama dari AS dan negara-negara Eropa. Namun, konflik Gaza yang meletus sejak serangan Hamas pada 2023 memperburuk situasi, disertai peningkatan pesat pembangunan permukiman di Tepi Barat.
Kelompok hak asasi Israel, Breaking the Silence, menilai rencana ini sebagai “perampasan tanah” yang akan memperparah fragmentasi wilayah Palestina dan memperkuat praktik apartheid.
Sementara itu, organisasi pemantau permukiman Peace Now memperingatkan bahwa meskipun ada prosedur administratif, pekerjaan infrastruktur dapat dimulai dalam beberapa bulan dan pembangunan rumah selesai dalam waktu setahun.
“Rencana E1 mematikan bagi masa depan Israel dan bagi peluang tercapainya solusi damai dua negara. Kita berada di tepi jurang, dan pemerintah mendorong kita maju dengan kecepatan penuh,” tegas Peace Now.
Sekitar 700.000 pemukim Israel kini tinggal di antara 2,7 juta warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Israel mencaplok Yerusalem Timur pada 1980, tetapi langkah itu tidak diakui oleh sebagian besar negara.
Adapun Tepi Barat oleh Israel dianggap sebagai “wilayah sengketa”, sementara komunitas internasional memandangnya sebagai “wilayah pendudukan” yang tunduk pada hukum internasional.
Langkah Israel menghidupkan kembali proyek E1 menunjukkan konsistensi kebijakan perluasan permukiman yang selama ini menjadi sorotan dunia. Dampaknya berpotensi memutus kesinambungan wilayah Palestina dan menghalangi terwujudnya solusi dua negara.
Diplomasi internasional perlu ditingkatkan untuk menekan pihak-pihak yang mengabaikan hukum internasional. Solusi damai memerlukan komitmen nyata dari semua pihak, bukan sekadar pernyataan politik. Perlu keterlibatan aktif negara-negara berpengaruh demi mencegah eskalasi. Dialog terbuka antara Israel dan Palestina harus kembali dihidupkan agar tidak semakin menjauh dari penyelesaian konflik. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v