NEW YORK, EKOIN.CO – Tingginya biaya kebutuhan pokok di Amerika Serikat membuat banyak warga mengalami stres, bahkan meski mereka memiliki penghasilan puluhan juta rupiah per bulan. Survei terbaru menunjukkan hampir separuh warga dewasa di negara itu mengaku harga bahan makanan menjadi sumber kecemasan terbesar mereka saat ini.
(Baca Juga : Biaya Hidup AS Kian Mencekik)
Berdasarkan jajak pendapat The Associated Press (AP) bersama NORC Center for Public Affairs Research, sekitar 50% responden menyebut biaya bahan makanan menjadi sumber stres utama, sedangkan 33% lainnya menganggapnya sebagai sumber kecemasan ringan. Hanya 14% warga yang menyatakan tidak terganggu dengan kenaikan harga tersebut.
Stres Ekonomi Menyebar di Berbagai Kalangan
Kondisi ini terjadi di hampir semua lapisan masyarakat, mulai dari pekerja muda hingga lansia yang hidup dengan tunjangan sosial. Tekanan semakin berat ketika harga kebutuhan sehari-hari terus melonjak, sementara pendapatan tidak mengalami peningkatan signifikan.
(Baca Juga : Kenaikan Harga Global)
Bagi warga Amerika muda, stres finansial terasa lebih berat karena mereka cenderung belum memiliki aset atau tabungan memadai. Banyak yang mengandalkan gaji bulanan tanpa cadangan dana darurat. Situasi ini membuat belanja rutin menjadi tantangan tersendiri.
Adam Bush (19), seorang tukang las di Portland, New York, mengaku penghasilannya sekitar US$ 50.000 per tahun atau setara Rp 813,95 juta. Meski per bulan ia menerima sekitar Rp 67,82 juta, nominal tersebut tetap terasa kurang untuk memenuhi biaya hidup di wilayahnya.
Ia bahkan kerap menggunakan layanan bayar nanti atau pay later untuk belanja bahan makanan maupun hiburan. “Saya terus memperhatikan harga naik, jadi saya mencari barang termurah,” ujarnya.
Kisah Lansia yang Terjebak Stres Finansial
Kisah serupa datang dari Esther Bland (78) di Buckley, Washington. Meski mendapat bantuan finansial dari jaminan sosial dan tunjangan disabilitas, ia tetap merasakan stres saat berbelanja.
(Baca Juga : Krisis Keuangan Lansia)
Pendapatan bulanannya sebagian besar habis untuk membayar tagihan listrik, air, tv kabel, dan kebutuhan pokok lainnya. Tanpa tunjangan tersebut, ia mengaku tidak memiliki sumber pendapatan lain untuk bertahan hidup.
Bland berusaha menghemat dengan jarang keluar rumah dan mengurangi aktivitas di luar. “Sabun, tisu dapur, tisu toilet. Saya beli bensin di Costco tapi sudah lama sekali harga bensin di bawah US$ 3 per galon di sini. Saya sering di rumah. Mobil saya hanya menempuh jarak sekitar 80 kilometer seminggu,” katanya.
Fenomena stres akibat tekanan ekonomi ini menjadi refleksi nyata bahwa kenaikan harga tidak hanya berdampak pada kelompok berpenghasilan rendah, namun juga mereka yang secara nominal terlihat mapan.
Pakar ekonomi menilai, tren inflasi dan kenaikan harga di AS akan terus menekan daya beli masyarakat, terutama jika upah riil tidak mampu mengimbangi.
(Baca Juga : Tekanan Inflasi AS)
Di tengah situasi tersebut, banyak rumah tangga mulai mengatur ulang prioritas belanja. Kebutuhan sekunder dan hiburan dikorbankan demi menjaga pengeluaran pokok tetap tercukupi.
Sementara itu, data dari AP-NORC menunjukkan adanya perbedaan tingkat stres berdasarkan kelompok usia dan latar belakang ekonomi. Generasi muda lebih rentan karena minimnya kepemilikan aset, sedangkan generasi tua lebih tertekan akibat ketergantungan pada pendapatan tetap.
Selain bahan makanan, biaya tempat tinggal juga menjadi faktor pemicu utama kecemasan finansial. Harga sewa dan cicilan rumah di banyak kota besar AS meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Kondisi ini membuat sebagian warga terpaksa pindah ke wilayah pinggiran demi mendapatkan biaya hidup yang lebih rendah, meski konsekuensinya adalah jarak tempuh kerja yang lebih jauh.
(Baca Juga : Migrasi Warga AS)
Psikolog mencatat, stres akibat beban ekonomi dapat memengaruhi kesehatan mental jangka panjang. Gejala seperti kecemasan, sulit tidur, dan kelelahan emosional banyak dilaporkan warga dalam survei tersebut.
Beberapa organisasi sosial di AS mulai menggalang bantuan darurat untuk meringankan beban warga. Namun, para aktivis menilai langkah ini belum menyentuh akar persoalan, yaitu tingginya inflasi dan stagnasi upah.
Pemerintah AS menghadapi tantangan besar untuk menekan inflasi tanpa menimbulkan efek resesi yang dapat memperburuk stres ekonomi warganya.
Langkah strategis, seperti subsidi bahan pokok dan pengendalian harga energi, tengah dibahas. Meski demikian, belum ada kebijakan konkret yang diimplementasikan secara luas.
Dengan kondisi harga yang terus naik, masyarakat Amerika diperkirakan akan terus beradaptasi dengan pola konsumsi yang lebih ketat dalam waktu dekat.
(Baca Juga : Strategi Hemat Rumah Tangga)
Tingginya harga kebutuhan pokok di AS telah menjadi sumber stres besar bagi hampir setengah penduduk dewasa. Baik pekerja muda maupun lansia sama-sama terdampak, meski dengan tekanan yang berbeda.
Beban biaya bahan makanan, tempat tinggal, dan energi membuat banyak rumah tangga harus mengatur ulang pengeluaran mereka.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa nominal gaji tidak selalu mencerminkan kenyamanan hidup, terutama di wilayah dengan biaya hidup tinggi.
Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil langkah nyata untuk meredakan beban masyarakat, agar stres ekonomi tidak semakin meluas.
Tanpa kebijakan yang tepat, ketidakpastian ini berpotensi memicu masalah sosial dan kesehatan mental di masa mendatang. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v