Bandung EKOIN.CO – Investasi baru di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) menunjukkan peningkatan pada 2024, namun para pelaku industri menilai kondisi sektor ini belum sepenuhnya membaik. Bahkan, sejumlah pengusaha mengaku masih menghadapi gelombang penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang mengindikasikan tantangan besar dalam pemulihan industri tersebut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, menyampaikan bahwa tren PHK masih berlangsung pada 2025 meskipun tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan telah tutup sepanjang 2023 dan 2024.
“Tambahan investasi sebesar Rp10,2 triliun pada 2024 patut disyukuri, meski belum bisa menggantikan investasi yang berhenti baik dari sisi produksi maupun penyerapan tenaga kerja,” ujar Farhan dalam keterangannya, dikutip Selasa (5/8/2025).
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin), realisasi investasi di sektor TPT dan alas kaki melonjak 124,9% pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Total investasi mencapai Rp4,53 triliun dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.907 orang.
Investasi Baru Tidak Seimbang dengan Penutupan Pabrik
Farhan menjelaskan, meskipun terjadi peningkatan investasi, tidak sebanding dengan jumlah pabrik yang setop sementara atau tutup permanen. Ia menyoroti bahwa utilisasi nasional masih menunjukkan tren penurunan karena agregat pertumbuhan investasi menjadi negatif.
“Yang kita perlukan adalah aggregate, karena investasi baru tidak mampu menggantikan investasi yang idle. Wajar jika utilisasi nasional tetap turun,” jelasnya.
Farhan juga menekankan pentingnya jaminan pasar bagi keberlanjutan investasi. Ia menyebutkan bahwa pasar domestik justru mengalami banjir produk impor, yang menyulitkan industri TPT lokal untuk bertahan.
“Jangankan pasar ekspor yang penuh tantangan, pasar dalam negeri pun dibanjiri produk impor,” tegas Farhan.
Utilisasi Pabrik Masih Rendah
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, turut menyuarakan hal serupa. Ia mengatakan bahwa utilisasi industri garmen kecil dan menengah yang mengandalkan pasar dalam negeri belum mencapai 50%.
“Hingga saat ini utilisasi nasional industri garmen skala kecil dan menengah masih di bawah 50%. Kita bisa lihat toko offline dan online dipenuhi barang impor,” ujar Nandi.
Ia mengungkapkan bahwa meskipun jumlah pelaku usaha konveksi bertambah akibat banyaknya PHK, namun kondisi pasar belum mendukung usaha tersebut untuk berkembang secara optimal.
“Dalam dua tahun terakhir, memang anggota kami bertambah karena banyak karyawan yang di-PHK lalu membuka usaha konveksi. Tapi order masih minim,” tambah Nandi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tambahan investasi belum mampu mendongkrak sektor TPT secara menyeluruh. Banyak pengusaha masih berjuang di tengah minimnya permintaan pasar lokal dan tekanan dari produk luar negeri.
Farhan kembali menegaskan bahwa tantangan utama adalah integrasi industri serta keberpihakan kebijakan pada industri lokal. Ia menyebutkan bahwa tanpa adanya insentif yang mendorong produksi lokal, sulit bagi industri TPT untuk pulih.
“Integrasi industri serta kebijakan fiskal dan nonfiskal yang berpihak menjadi kunci agar sektor ini bangkit,” ujarnya.
Selain itu, tantangan dari kesepakatan dagang seperti tarif resiprokal dan IEU-CEPA juga perlu diantisipasi oleh pemerintah agar tidak semakin menekan industri TPT nasional.
Menurut Farhan, salah satu solusi yang perlu diambil adalah penguatan investasi dalam negeri yang menyasar rantai pasok secara menyeluruh, bukan hanya pada hilir, tetapi juga sektor hulu industri tekstil.
Ia berharap agar pemerintah memberikan prioritas pada sektor industri padat karya seperti tekstil untuk menjaga kestabilan ekonomi dan lapangan kerja.
“Investasi yang masuk harus disertai jaminan pasar dan perlindungan terhadap serbuan produk impor,” ujarnya.
Sementara itu, dari sisi pengusaha konveksi, Nandi mengusulkan adanya pengawasan ketat terhadap barang impor yang masuk ke pasar dalam negeri, serta pemberdayaan pelaku usaha lokal.
“Pengawasan terhadap impor harus ditingkatkan. Kami butuh keadilan pasar untuk bisa tumbuh,” katanya.
meskipun investasi baru terus mengalir ke sektor tekstil, belum mampu menutupi dampak dari gelombang penutupan pabrik dan PHK sebelumnya. Utilisasi industri pun belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan.
Untuk mendorong pertumbuhan sektor ini, diperlukan upaya bersama antara pemerintah dan pelaku industri dalam menciptakan iklim usaha yang kompetitif, terintegrasi, dan terlindungi dari tekanan eksternal.
Dukungan kebijakan yang berkelanjutan serta jaminan pasar domestik dapat menjadi motor pemulihan industri tekstil, mengingat sektor ini menyerap banyak tenaga kerja.
Apabila langkah konkret tidak segera diambil, maka industri tekstil nasional berisiko terus merosot, berdampak pada stabilitas ekonomi dan sosial.
Langkah sinergis melalui peningkatan investasi, pemberdayaan industri lokal, dan pengendalian impor menjadi solusi jangka panjang yang harus diutamakan untuk menjaga keberlanjutan sektor ini. (*)