JAKARTA EKOIN.CO – Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, melontarkan kritik keras terhadap kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang melakukan pemblokiran terhadap rekening dormant atau rekening tidak aktif. Pemblokiran ini menuai kontroversi setelah PPATK mengumumkan penghentian sementara terhadap 140 ribu rekening nganggur dengan nilai mencapai Rp428,612 juta.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
PPATK menyatakan bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi nasabah dari potensi penyalahgunaan rekening oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Lembaga itu menyoroti adanya dugaan penggunaan rekening dormant dalam berbagai transaksi ilegal sehingga diperlukan langkah preventif.
Namun, penjelasan PPATK dianggap tidak memadai oleh beberapa pihak. Jumhur Hidayat menilai kebijakan itu sebagai tindakan berlebihan dan tidak adil terhadap masyarakat luas. Ia menekankan pentingnya penindakan berbasis bukti dan bukan sekadar asumsi terhadap rekening tidak aktif.
Kritik terhadap pemblokiran rekening tidak aktif
Dalam pernyataannya pada Rabu, 30 Juli 2025, Jumhur Hidayat menyebut tindakan PPATK sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. “Jangan gara-gara melacak segelintir orang jahat lalu mengorbankan jutaan rakyat lainnya. Ini sama saja ada 100 pisau dapur dipakai membunuh orang, puluhan juta pisau dapur untuk sementara disita negara. Ini kan logika sontoloyo namanya,” ujar Jumhur.
Ia menyatakan bahwa fungsi utama PPATK adalah mengawasi transaksi mencurigakan, bukan mengambil langkah sepihak terhadap rekening yang sekadar tidak aktif dalam tiga bulan. Ia pun meminta agar PPATK fokus pada temuan-temuan besar, seperti aliran dana jumbo dalam proyek strategis nasional (PSN).
Jumhur juga mengingatkan bahwa publik kini tengah menunggu tindak lanjut PPATK atas laporan adanya aliran dana sebesar Rp510,23 triliun yang masuk ke kantong aparatur sipil negara (ASN) dan politikus. Ia mempertanyakan mengapa dugaan transaksi besar tersebut belum ditindaklanjuti secara serius.
Menurut dia, penelusuran terhadap rekening besar yang berkaitan dengan korupsi lebih penting ketimbang pemblokiran rekening tabungan masyarakat. Ia menilai PPATK seharusnya lebih akurat dalam menentukan target penyelidikan, ketimbang membuat kebijakan menyeluruh yang berpotensi merugikan rakyat.
Pertanyaan publik soal dana diblokir
Sorotan terhadap PPATK juga datang dari tokoh lain, Arianto Harefa, yang mempertanyakan nasib dana dalam rekening yang dibekukan. Ia menilai bahwa penjelasan mengenai proses dan status dana setelah pemblokiran masih belum transparan. Menurutnya, hal ini perlu segera diklarifikasi kepada publik.
“Jika ada konsumen yang merasa dirugikan dan merasa tidak melakukan suatu tindak kejahatan sebagai alasan yang disampaikan oleh PPATK, itu bisa dibukakan kembali dan harus dipermudah prosesnya,” tegas Arianto Harefa.
Ia menambahkan bahwa fenomena rekening nganggur bukanlah hal baru. Banyak masyarakat yang memiliki lebih dari satu rekening, di mana salah satunya sengaja tidak digunakan untuk transaksi harian, melainkan sebagai tabungan masa depan seperti biaya pendidikan anak.
Dengan alasan tersebut, Arianto merasa kebijakan PPATK terlalu menyederhanakan kondisi nasabah. Ia menilai alasan pemblokiran masih belum dapat diterima secara logis, apalagi jika tidak disertai indikasi pelanggaran hukum yang kuat pada rekening tersebut.
Lebih lanjut, Arianto menekankan pentingnya komunikasi terbuka antara PPATK dan perbankan kepada masyarakat. Penjelasan menyeluruh perlu diberikan mengenai status dana, proses pengembalian, dan jangka waktu pemblokiran.
Dalam praktiknya, masyarakat harus diberi akses mudah dan cepat untuk mengaktifkan kembali rekening yang dibekukan, terutama bagi mereka yang merasa tidak bersalah. Ia menegaskan bahwa perlindungan konsumen harus diutamakan.
Kebijakan yang diambil secara generalisasi dinilai rawan merugikan masyarakat kecil. Oleh karena itu, perlu ada regulasi pendamping yang memastikan hak nasabah tetap terjaga dalam proses pencegahan kejahatan keuangan.
Transparansi dari PPATK menjadi sorotan utama dalam kasus ini. Tanpa penjelasan rinci, kebijakan pemblokiran bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem perbankan nasional.
Langkah preventif seharusnya dibarengi dengan pendekatan yang adil dan proporsional. Pemerintah diharapkan turun tangan untuk memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan keresahan luas.
Penting juga bagi otoritas keuangan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme deteksi rekening bermasalah. Hal ini agar kebijakan tidak menyasar masyarakat biasa yang tidak terkait dengan kejahatan.
Sementara itu, nasabah diminta untuk melakukan pembaruan data secara berkala agar rekening mereka tidak dikategorikan dormant oleh sistem perbankan. Ini sebagai langkah antisipasi dari pemblokiran yang tidak diinginkan.
keputusan PPATK menuai polemik di masyarakat karena dianggap terlalu menyamaratakan dan berpotensi menyulitkan banyak nasabah. Kritik yang disampaikan Jumhur Hidayat mencerminkan kekhawatiran publik terhadap kebijakan yang tidak berbasis pada fakta dan logika hukum.
Sebagai PPATK diharapkan memfokuskan upaya pada pemberantasan kejahatan keuangan berskala besar dengan menelusuri aliran dana mencurigakan, bukan sekadar mengejar rekening yang tidak aktif. Edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan rekening dan pembaruan data nasabah juga perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Pemerintah diharapkan mengkaji ulang kebijakan tersebut dan membuka ruang diskusi bersama para pemangku kepentingan. Hal ini bertujuan untuk mencari solusi terbaik dalam menjaga stabilitas sistem keuangan tanpa menimbulkan keresahan di kalangan nasabah.
Konsistensi dan transparansi dari PPATK harus ditingkatkan agar masyarakat percaya terhadap upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Tindak lanjut terhadap temuan besar harus segera dilakukan demi membuktikan integritas lembaga tersebut.
Akhirnya, perlindungan terhadap hak nasabah merupakan prioritas utama yang tidak boleh diabaikan. Kebijakan harus seimbang antara pencegahan kejahatan dan menjaga kepercayaan publik terhadap perbankan nasional. (*)