Jakarta, EKOIN.CO – Keputusan Indonesia untuk resmi bergabung dengan BRICS pada 6 Januari 2025 memunculkan respons yang beragam dari kalangan pengamat politik dalam negeri. Salah satu tanggapan paling menonjol datang dari Rocky Gerung yang melihat langkah ini sebagai strategi geopolitik penuh risiko di bawah kendali Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Rocky mengutarakan analisisnya dalam diskusi di kanal YouTube Hendri Satrio Official. Ia menyebut bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS bukan sekadar lompatan diplomatik, namun juga sebuah pertaruhan besar yang bisa membuka dua jalan ekstrem: memperkuat posisi global Indonesia atau terjerembab dalam konflik geopolitik global.
Menurut Rocky, Prabowo berambisi menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dunia berkembang, yang dalam konteks BRICS dikenal dengan istilah “Global South”. Ia menilai Prabowo ingin menggeser orientasi Indonesia dari dominasi barat ke kemitraan non-Barat seperti Tiongkok, Rusia, dan India.
Ambisi geopolitik Prabowo lewat BRICS
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, menurut Rocky, selaras dengan visi global Prabowo yang ingin memperluas pengaruh Indonesia dalam arena internasional. Aliansi BRICS—yang awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—kini telah diperluas menjadi sepuluh anggota, termasuk Indonesia.
“Langkah ini dianggap strategis bagi Prabowo untuk menjadi pemimpin dunia dan menonjol di ‘global south’,” ujar Rocky Gerung dalam pernyataannya.
BRICS dinilai mampu membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mendiversifikasi mitra ekonomi, menjauhkan ketergantungan pada negara-negara Barat, serta memperluas jaringan perdagangan dan pendanaan alternatif melalui New Development Bank (NDB) yang didirikan aliansi tersebut.
Selain itu, platform BRICS memungkinkan Indonesia ikut menentukan arah kebijakan global dari perspektif negara-negara berkembang, sekaligus mengamankan posisi strategis dalam isu-isu seperti perubahan iklim, keuangan global, dan ketahanan pangan.
Dengan populasi gabungan yang mewakili hampir setengah penduduk dunia dan kekuatan ekonomi kolektif yang signifikan, BRICS memiliki pengaruh yang kian menguat dalam sistem internasional, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik global.
Risiko konflik proksi dan tarik-menarik kekuatan
Di sisi lain, Rocky mengingatkan tentang kemungkinan jebakan strategis yang bisa menanti Indonesia di dalam BRICS. Ketegangan internal antaranggota dan rivalitas eksternal dengan blok Barat menjadi potensi masalah serius.
“Namun, ada risiko terkait dinamika internal BRICS dan potensi menjadi proksi dalam persaingan geopolitik,” kata Rocky menambahkan.
Ia menyoroti fakta bahwa Rusia dan Tiongkok memainkan peran dominan di BRICS, dan keputusan-keputusan strategis dalam aliansi ini seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik kedua negara tersebut, yang bisa bertentangan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang selama ini non-blok.
Selain itu, Rocky mencermati dimensi militer dalam keterlibatan Indonesia di BRICS. Meski blok ini secara resmi adalah aliansi ekonomi dan pembangunan, namun dalam praktiknya kerap menyentuh isu-isu keamanan dan pertahanan, terutama di tengah menguatnya polarisasi global.
Rocky menyatakan bahwa jika tidak hati-hati, Indonesia bisa saja terseret dalam konflik proksi antara kekuatan besar dunia, seperti yang terjadi dalam berbagai krisis internasional di kawasan Timur Tengah maupun Eropa Timur.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan publik dan parlemen terhadap kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan baru agar tetap berpijak pada prinsip kemanusiaan, kedaulatan, dan kepentingan nasional jangka panjang.
Rocky berharap bahwa langkah Indonesia masuk BRICS tidak serta-merta menimbulkan ketegangan baru dengan negara-negara sahabat yang selama ini menjadi mitra strategis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik maupun dunia barat.
Penting untuk memastikan bahwa langkah tersebut betul-betul berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar pencitraan geopolitik yang bisa memicu masalah baru dalam kebijakan luar negeri.
Rocky juga mengingatkan bahwa diplomasi yang terlalu condong ke satu kutub kekuasaan global bisa menimbulkan reaksi negatif dari pihak lain, termasuk sanksi ekonomi atau diplomatik yang bisa merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Menurutnya, narasi “menjadi pemimpin dunia” harus dibarengi dengan kesiapan sistemik di dalam negeri, terutama dalam hal tata kelola, infrastruktur ekonomi, dan konsolidasi politik, agar Indonesia benar-benar mampu bersaing di panggung global.
keanggotaan Indonesia dalam BRICS membuka peluang besar untuk memperluas pengaruh dan membangun poros baru diplomasi global. Namun langkah ini juga menyimpan potensi konflik yang harus dikelola dengan hati-hati.
Pemerintah perlu menyeimbangkan strategi luar negerinya dengan tetap menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat yang telah lama menjadi mitra ekonomi utama Indonesia. Selain itu, penguatan diplomasi multilateral juga perlu ditingkatkan.
Diperlukan komunikasi politik yang transparan kepada publik mengenai arah dan tujuan keanggotaan di BRICS, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi atau polarisasi di tingkat domestik.
Keterlibatan akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan luar negeri menjadi penting agar setiap langkah strategis Indonesia tetap berpijak pada kepentingan rakyat dan prinsip konstitusional.
Langkah Indonesia menuju BRICS harus dilandasi perhitungan matang, serta tidak mengabaikan dinamika geopolitik global yang kian kompleks dan cepat berubah. Dengan begitu, Indonesia tidak akan menjadi korban dalam percaturan kekuatan besar dunia. (*)