Moskwa ,EKOIN.CO – Duta Besar Iran untuk Rusia, Kazem Jalali, secara terbuka meminta dukungan dari Moskwa untuk membantu Teheran memulihkan infrastruktur yang rusak akibat serangan gabungan Amerika Serikat dan Israel bulan lalu.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Permintaan itu disampaikan Jalali pada Kamis, 10 Juli 2025, dalam sebuah wawancara dengan media Russia Today (RT). Ia menegaskan pentingnya dukungan Rusia sebagai mitra strategis Iran, terutama di tengah meningkatnya ketegangan kawasan.
“Kami berharap Rusia memainkan perannya dalam memulihkan infrastruktur sipil yang rusak, dan jika diperlukan, menjadi mediator untuk meredakan ketegangan,” kata Jalali kepada RT.
Jalali juga merujuk pada perjanjian kemitraan antara kedua negara yang diteken pada Januari lalu. Kesepakatan itu mencakup kerja sama ekonomi dan pertahanan dalam upaya bersama melawan terorisme.
Ketegangan antara Iran dan Israel mencapai puncaknya pada 13 Juni, ketika Israel meluncurkan Operasi Rising Lion. Serangan itu menargetkan fasilitas nuklir utama Iran serta tokoh militer dan ilmuwan nuklir.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan Operasi True Promise 3. Kedua operasi tersebut memicu perang selama 12 hari yang berdampak besar pada wilayah Timur Tengah, menimbulkan kekhawatiran global.
Tiga fasilitas nuklir utama Iran, yakni Isfahan, Natanz, dan Fordow, dikabarkan mengalami kerusakan besar. Serangan pada 22 Juni itu dilakukan menggunakan rudal bunker buster dan Tomahawk milik AS.
Menurut laporan otoritas Iran, lebih dari 1.100 warga tewas akibat serangan tersebut. Di pihak Israel, jumlah korban mencapai 28 orang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat ribuan korban jiwa dalam perang singkat ini. Selain itu, infrastruktur sipil juga rusak parah, terutama di wilayah strategis yang memiliki nilai militer dan teknologi tinggi.
PLTN Bushehr menjadi salah satu objek vital yang sempat dikhawatirkan bakal terkena dampak. Presiden Rusia Vladimir Putin secara langsung mendesak Israel agar tidak menyerang pembangkit tersebut.
Israel pun merespons kekhawatiran tersebut dengan menjamin keselamatan para ilmuwan Rusia yang bekerja di PLTN Bushehr. PLTN itu merupakan satu-satunya fasilitas nuklir sipil yang aktif di Iran.
PLTN Bushehr menghasilkan daya sekitar 1.000 megawatt dan menggunakan uranium yang dipasok dari Rusia. Setelah digunakan, bahan bakar dikirim kembali ke Rusia untuk diproses ulang di bawah pengawasan IAEA.
Namun, pascaperang, Iran mengambil langkah kontroversial dengan menghentikan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Iran juga mengusir para inspektur IAEA dari wilayahnya.
Langkah Iran itu memicu kekhawatiran baru dari komunitas internasional. Banyak negara mencemaskan bahwa Teheran mungkin akan menghidupkan kembali program nuklir tanpa pengawasan.
Walau demikian, kerusakan besar di tiga situs utama menyebabkan Iran kesulitan untuk segera memulihkan program tersebut. Proses rekonstruksi diperkirakan akan memakan waktu yang cukup panjang.
Dalam konteks ini, permintaan Iran kepada Rusia menjadi sangat relevan. Dukungan teknis dan logistik dari Moskwa dinilai krusial agar Iran dapat bangkit dari kehancuran infrastruktur nuklirnya.
Rusia sendiri menunjukkan sinyal positif. Meski belum memberikan konfirmasi resmi, Moskwa disebut bersedia mempertimbangkan permintaan Iran tersebut, terlebih karena adanya kerja sama bilateral yang sudah terjalin sebelumnya.
Permintaan agar Rusia menjadi mediator juga mencerminkan keinginan Iran untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah. Mediasi tersebut diharapkan dapat menstabilkan kawasan dan mencegah konflik lebih lanjut.
Saat ini, dunia terus memantau situasi di Iran. Ancaman kembalinya krisis nuklir dan potensi eskalasi konflik baru membuat negara-negara besar berhati-hati dalam merespons dinamika kawasan.
Berbagai pengamat menilai bahwa langkah Iran merayu Rusia menandakan krisis pasca-perang yang belum sepenuhnya mereda. Ketegangan diplomatik pun masih tinggi antara Iran, AS, dan sekutunya.
Dukungan dari Rusia akan menjadi langkah penting bagi Iran dalam proses rekonstruksi. Di sisi lain, hal ini juga akan memperkuat aliansi strategis antara kedua negara di tengah isolasi politik Barat terhadap Teheran.
Diperlukan kehati-hatian dalam menghadapi situasi pascakonflik di Iran. Negara-negara regional dan internasional didorong untuk membuka jalur komunikasi demi menghindari konflik serupa di masa depan.
Iran memerlukan waktu, sumber daya, dan dukungan internasional untuk memulihkan fasilitas strategisnya. Tanpa bantuan pihak luar, pemulihan akan berjalan lambat dan penuh tantangan teknis.
Pemerintah Iran juga diharapkan dapat memulihkan hubungan dengan lembaga internasional seperti IAEA. Kolaborasi ini penting agar program nuklir tetap berada dalam kerangka damai dan transparan.
Sebagai negara dengan kapasitas teknologi tinggi, Rusia memiliki posisi unik untuk membantu Iran. Bantuan ini tidak hanya teknis, tapi juga dapat menjadi penyeimbang kekuatan di kawasan yang penuh gejolak.
Langkah Iran menggandeng Rusia memperlihatkan strategi baru dalam diplomasi kawasan. Dengan memanfaatkan hubungan bilateral, Teheran berupaya menghindari keterlibatan langsung Barat dalam proses pemulihan.
Akhirnya, upaya untuk membangun kembali kawasan pascaperang harus dilakukan bersama. Koordinasi global dibutuhkan agar stabilitas dan perdamaian dapat terwujud secara berkelanjutan di Timur Tengah.(*)