Teheran EKOIN.CO – Sebanyak 1.060 orang dilaporkan tewas akibat perang antara Israel dan Iran yang berlangsung selama dua belas hari dari 13 hingga 24 Juni 2025. Data ini diungkapkan oleh Kepala Yayasan Martir dan Urusan Veteran Iran, Saeed Ohadi, dalam wawancara televisi yang disiarkan oleh stasiun pemerintah Iran, IRIB TV.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Ohadi, jumlah korban bisa terus bertambah karena masih terdapat banyak korban luka berat dan jasad yang belum berhasil diidentifikasi. “Korban tewas akibat serangan Israel ke Iran antara 13 hingga 24 Juni mencapai 1.060 orang,” ujarnya seperti dikutip dari kantor berita Antara, Rabu (9/7).
Serangan dimulai pada malam 13 Juni saat Israel meluncurkan operasi terhadap berbagai fasilitas penting di Iran. Israel menuduh Iran menyimpan program nuklir militer rahasia yang menjadi ancaman bagi keamanan kawasan.
Serangan Masif dan Balasan Iran
Dalam serangan tersebut, sejumlah komandan militer senior dan ilmuwan nuklir Iran menjadi sasaran, bersama dengan warga sipil yang turut menjadi korban. Puluhan bangunan di kota-kota besar Iran dilaporkan mengalami kerusakan parah.
Iran membantah keras tuduhan mengenai program nuklir militer. Negara tersebut kemudian membalas agresi Israel dengan meluncurkan berbagai serangan udara ke wilayah yang dikuasai militer Israel, memicu eskalasi konflik lebih lanjut.
Selama dua belas hari konflik, kedua negara saling menggempur dengan kekuatan penuh. Kementerian Kesehatan Iran mengeluarkan pernyataan bahwa jumlah korban luka mencapai ratusan orang, termasuk perempuan dan anak-anak.
Serangan balasan Iran tidak hanya menyasar instalasi militer, tetapi juga menargetkan infrastruktur pendukung yang dianggap terlibat dalam operasi militer Israel. Hal ini menambah deretan kerusakan dan korban jiwa.
Keterlibatan Amerika Serikat dan Gencatan Senjata
Situasi semakin memanas ketika Amerika Serikat turut terlibat. Pada malam 22 Juni, AS melancarkan serangan terhadap salah satu fasilitas nuklir Iran yang diduga menjadi pusat pengembangan teknologi sensitif.
Sebagai respon terhadap serangan tersebut, Teheran menembakkan rudal ke pangkalan militer Amerika Serikat Al Udeid di Qatar pada malam berikutnya. Serangan ini menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya konflik ke wilayah Timur Tengah yang lebih luas.
Presiden AS Donald Trump pada 23 Juni mengumumkan bahwa kedua pihak telah sepakat untuk mengakhiri konflik. “Israel dan Iran telah menyepakati gencatan senjata guna mengakhiri Perang 12 hari,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Putih.
Di sisi lain, Iran tetap bersikukuh bahwa program nuklir mereka tidak memiliki dimensi militer. Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, pada 18 Juni menyatakan bahwa lembaganya tidak menemukan bukti konkret mengenai keberadaan senjata nuklir aktif di Iran.
Walau gencatan senjata diumumkan, sejumlah analis menyebutkan bahwa tensi antara kedua negara masih tinggi. Banyak pihak khawatir konflik dapat kembali pecah sewaktu-waktu jika kesepakatan damai tidak ditegakkan secara menyeluruh.
Kondisi para pengungsi akibat perang ini turut menjadi perhatian komunitas internasional. Ribuan warga sipil terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka untuk mencari perlindungan di wilayah yang lebih aman.
Badan kemanusiaan PBB menyebutkan bahwa kebutuhan akan bantuan medis dan logistik meningkat tajam, terutama di wilayah Iran yang terdampak parah akibat serangan udara dan rudal.
Meskipun situasi mulai mereda, proses identifikasi korban masih terus berlangsung. Banyak keluarga belum menerima kabar tentang anggota keluarga mereka yang hilang atau terluka dalam serangan tersebut.
Pemerintah Iran mengumumkan masa berkabung nasional selama tiga hari untuk menghormati para korban yang telah gugur. Berbagai upacara doa dan penghormatan dilakukan di seluruh penjuru negara.
Upaya diplomatik masih terus berjalan di belakang layar. Sejumlah negara, termasuk Turki dan Rusia, telah menawarkan diri sebagai penengah untuk menjembatani komunikasi antara Iran dan Israel.
Kementerian Luar Negeri Iran menegaskan bahwa mereka akan terus menuntut pertanggungjawaban internasional atas serangan yang dianggap melanggar kedaulatan negara. Investigasi terhadap kerusakan fasilitas sipil juga sedang dilakukan.
Di Israel, pemerintah belum memberikan komentar resmi terkait angka korban yang disampaikan oleh Iran. Namun, otoritas pertahanan menyebut operasi tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap ancaman nuklir yang mengemuka.
Sejumlah pengamat menilai bahwa meskipun gencatan senjata telah diumumkan, konflik ideologis dan geopolitik antara kedua negara masih menjadi ancaman jangka panjang bagi stabilitas kawasan.
Situasi tersebut memberikan pelajaran penting tentang pentingnya dialog dan kerja sama internasional dalam mengatasi konflik bersenjata, terutama yang melibatkan isu nuklir dan teritorial yang sensitif.
perang antara Israel dan Iran selama dua belas hari membawa dampak besar baik secara politik, sosial, maupun kemanusiaan. Ribuan nyawa hilang, sementara infrastruktur sipil dan militer mengalami kerusakan yang luas. Meskipun gencatan senjata telah diberlakukan, luka yang ditinggalkan konflik ini masih membekas di hati banyak orang.
Konflik ini menandakan betapa rapuhnya stabilitas regional di Timur Tengah ketika diplomasi gagal dan kekuatan militer menjadi pilihan utama. Keterlibatan negara ketiga seperti Amerika Serikat juga menunjukkan betapa kompleksnya dinamika kekuasaan global saat ini.
Informasi yang disampaikan oleh lembaga internasional seperti IAEA menambah dimensi penting dalam wacana ini, terutama dalam hal transparansi program nuklir dan kepercayaan antarnegara. Ketidakpercayaan bisa memicu ketegangan lebih cepat dari yang diperkirakan.
Gencatan senjata menjadi langkah awal yang positif, namun masih diperlukan upaya diplomasi yang intensif untuk menjamin perdamaian jangka panjang. Keberadaan perantara netral dan forum internasional yang aktif menjadi sangat krusial.
Dengan demikian, dunia internasional diharapkan mampu mengambil peran lebih besar dalam mencegah konflik serupa di masa mendatang. Perlindungan terhadap warga sipil dan kepatuhan pada hukum internasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap konflik bersenjata.(*)
