Jakarta, EKOIN.CO – Indonesia sebagai produsen kopi keempat terbesar dunia tengah menghadapi tantangan serius dalam stabilitas produksinya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan penurunan produksi kopi nasional selama dua tahun terakhir.
Pada tahun 2022, produksi kopi turun 1,43 persen dari 786,19 ribu ton menjadi 774,96 ribu ton. Penurunan kembali terjadi di tahun 2023 sebesar 2,10 persen atau sekitar 16,24 ribu ton. Tren ini menjadi perhatian para peneliti dan pelaku industri kopi nasional.
Dalam webinar EstCrops_Corner #15 yang digelar Selasa, 24 Juni 2025, Peneliti Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, Nana Heryana, menekankan pentingnya riset dan inovasi dalam meningkatkan produksi kopi unggul. Webinar tersebut mengangkat tema “Mengoptimalkan Perkebunan Kakao, Kopi, dan Pinang di Lahan Suboptimal untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional.”
Nana menjelaskan bahwa terdapat empat jenis utama kopi yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu Arabika, Robusta, Liberika, dan Ekselsa. Setiap jenis kopi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dari segi aroma, cita rasa, dan bentuk biji.
Ia merinci, “Kopi Arabika memiliki aroma kuat dan tingkat keasaman tinggi, sementara Robusta lebih pahit dengan kekentalan sedang hingga kuat. Liberika dan Ekselsa punya variasi biji namun mutu citarasanya relatif rendah.”
Perkebunan Rakyat Mendominasi Produksi
Menurut data BPS 2023, luas lahan perkebunan kopi di Indonesia meningkat 0,05 persen dari tahun sebelumnya, menjadi 1.266,85 ribu hektare. Sekitar 99,56 persen produksi kopi nasional dihasilkan oleh Perkebunan Rakyat (PR).
Kontribusi dari Perkebunan Besar Milik Negara (PBN) tercatat hanya 0,36 persen dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 0,07 persen. Angka ini menunjukkan peran dominan petani kecil dalam ekosistem kopi Indonesia.
Nana menyebutkan dua teknik perbanyakan tanaman kopi, yakni secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan generatif menggunakan biji, sedangkan vegetatif menggunakan bagian tanaman seperti batang bawah dan atas.
Perbanyakan generatif dinilai lebih ekonomis dan mudah, namun memiliki kelemahan pada ketidakpastian sifat induk. Sementara metode vegetatif lebih cepat menghasilkan panen, meski biayanya lebih tinggi dan sulit dikembangkan dalam jumlah besar.
“Perbanyakan vegetatif dengan teknik sambung membutuhkan batang bawah tahan penyakit dan akar kuat. Waktu terbaik penyambungan adalah awal musim hujan atau akhir musim kemarau,” ungkap Nana.
Tips Budidaya hingga Pemangkasan Tanaman Kopi
Bibit kopi yang telah berumur enam bulan dipindahkan dari tempat pembibitan ke lahan tanam. Proses ini memerlukan tanah yang lembab dan pemupukan bertahap sesuai umur bibit.
Jarak tanam disesuaikan dengan jenis kopi. Arabika memiliki beberapa kategori: Katai, Agak Katai, dan Jangkung. Robusta, Liberika, dan Ekselsa masing-masing memiliki standar jarak tanam sendiri.
Pemupukan dilakukan untuk meningkatkan mutu hasil dan ketahanan tanaman. Pupuk diberikan di lubang melingkari batang pohon lalu ditutup kembali dengan tanah. Pemangkasan pun menjadi bagian penting dalam menjaga produktivitas.
“Kopi Arabika dipangkas pada ketinggian 1,5–1,8 meter dan Robusta 1,8–2,5 meter. Tujuannya untuk merangsang pertumbuhan cabang buah baru dan mengurangi penyakit,” jelas Nana dalam sesi pemaparan teknis.
Pengendalian Hama dan Proses Pascapanen
Berbagai hama dan penyakit yang kerap menyerang tanaman kopi, seperti bubuk buah, kutu putih, karat daun, dan jamur akar perlu dikendalikan secara terpadu. Metode yang diterapkan antara lain pemangkasan, rotasi tanaman, serta penggunaan varietas tahan penyakit.
Tahap panen dilakukan bertahap, terdiri dari panen pendahuluan, utama, dan akhir. Arabika dipanen 6–8 bulan setelah berbunga, sedangkan Robusta 8–11 bulan. Waktu panen sangat menentukan mutu kopi yang dihasilkan.
Terdapat empat metode pemanenan: selektif, setengah selektif, lelesan, dan rajutan. Setiap metode dipilih berdasarkan kondisi kematangan buah dan efisiensi tenaga kerja di lapangan.
Setelah panen, pengolahan kopi dilakukan dengan dua metode utama: kering dan basah. Metode kering melibatkan penjemuran langsung, sementara metode basah membutuhkan proses fermentasi untuk membersihkan lendir buah kopi.
“Produk akhir harus memenuhi standar mutu seperti kadar air maksimal dan kebersihan biji. Ini penting untuk meningkatkan daya saing kopi Indonesia di pasar internasional,” tutup Nana.
Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat dunia menghadapi penurunan produksi dalam dua tahun terakhir. Riset dari BRIN menekankan perlunya inovasi dalam teknik perbanyakan, budidaya, dan pengendalian hama untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kopi nasional.
Kontribusi utama dari Perkebunan Rakyat membuktikan pentingnya dukungan teknologi dan pelatihan langsung ke petani kecil. Selain itu, pemahaman tentang metode panen dan pascapanen menjadi kunci dalam menjaga mutu hasil kopi agar tetap kompetitif di pasar global.
Langkah strategis melalui riset, edukasi, dan penerapan praktik budidaya berkelanjutan diharapkan mampu mendorong kebangkitan sektor kopi Indonesia ke arah yang lebih kuat dan stabil dalam jangka panjang.(*)