Teheran, EKOIN.CO – Pemerintah Iran memutus jaringan internet secara besar-besaran pada pertengahan Juni 2025. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya pengendalian arus informasi di tengah meningkatnya ketegangan dalam negeri dan konflik eksternal. Akibat pemutusan tersebut, penggunaan internet nasional mengalami penurunan drastis hingga 97 persen.
Pembatasan ini berdampak langsung pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk dunia usaha, media, hingga pengguna pribadi. Banyak layanan daring tidak dapat diakses secara normal, termasuk aplikasi perpesanan dan jejaring sosial. Organisasi netizen internasional mengonfirmasi bahwa pemutusan ini merupakan salah satu gangguan internet terbesar yang pernah dilakukan oleh Iran.
Dalam laporan yang dirilis oleh NetBlocks, sebuah organisasi pemantau internet global, pemutusan akses dimulai secara bertahap dari wilayah-wilayah tertentu sebelum meluas ke tingkat nasional. Pemadaman ini terutama berdampak pada malam hari, ketika aktivitas daring biasanya meningkat.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis HAM dan organisasi internasional. Mereka menilai tindakan Iran melanggar hak atas kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Beberapa kelompok HAM juga mengaitkan pemadaman ini dengan usaha pemerintah untuk mencegah penyebaran dokumentasi kekerasan atau protes.
Sementara itu, otoritas Iran belum memberikan penjelasan resmi yang rinci terkait alasan teknis pemutusan akses tersebut. Namun, sejumlah pejabat dalam negeri menyebutkan bahwa langkah ini bertujuan menjaga stabilitas nasional dari ancaman informasi yang “tidak seimbang”.
Meskipun sebagian koneksi internet telah dipulihkan, pembatasan tetap diberlakukan terhadap aplikasi tertentu, seperti WhatsApp dan beberapa situs berita internasional. Pengguna di berbagai kota besar seperti Teheran, Mashhad, dan Isfahan mengeluhkan lambatnya koneksi serta ketidakmampuan mengakses layanan dasar komunikasi daring.
NetBlocks mencatat bahwa meskipun lalu lintas data mulai meningkat sejak pekan terakhir Juni, pemulihan berjalan sangat lambat. Pembatasan berbasis DNS dan inspeksi paket mendalam digunakan untuk membatasi situs dan aplikasi pilihan. Akibatnya, penggunaan VPN melonjak drastis, namun banyak juga VPN yang diblokir.
Menurut laporan dari media lokal dan pemantauan independen, aplikasi WhatsApp telah menjadi salah satu target utama pembatasan. Platform ini dinilai sebagai saluran utama penyebaran informasi dari luar dan komunikasi antar aktivis.
Media internasional seperti BBC Persia, Deutsche Welle, dan Voice of America juga dilaporkan tidak dapat diakses dari dalam negeri tanpa alat khusus. Hal ini membuat arus informasi dari luar negeri menjadi sangat terbatas bagi warga Iran.
Organisasi Reporter Tanpa Batas (RSF) menyampaikan keprihatinannya atas tindakan pemerintah Iran. Dalam pernyataannya, RSF menyebutkan bahwa sensor internet merupakan taktik lama yang sering digunakan untuk menekan kebebasan pers.
Pembatasan akses ini menyebabkan terganggunya banyak aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari pekerjaan, pendidikan, hingga komunikasi keluarga. Banyak pekerja lepas dan pelaku UMKM digital mengaku kehilangan pendapatan karena tidak bisa terhubung dengan klien internasional.
Pelajar dan mahasiswa yang bergantung pada kelas daring juga terdampak. Beberapa universitas di Iran harus menunda jadwal perkuliahan dan ujian yang dilaksanakan secara daring karena tidak adanya koneksi yang stabil.
Kondisi ini juga menyulitkan para diaspora Iran untuk menghubungi keluarga mereka di tanah air. Saluran komunikasi alternatif pun menjadi terbatas karena aplikasi populer diblokir atau tidak stabil.
Kondisi ini memicu sejumlah protes kecil yang muncul di beberapa kota. Namun, laporan lebih lanjut mengenai aksi protes tidak dapat diverifikasi karena minimnya dokumentasi akibat gangguan komunikasi.
Sementara itu, otoritas keamanan Iran memperketat pengawasan terhadap penggunaan internet, bahkan terhadap mereka yang mencoba mengakses jaringan menggunakan VPN. Beberapa pengguna dilaporkan menerima peringatan karena mencoba mengakses konten terlarang.
Sejumlah organisasi internasional mengecam langkah pemutusan internet oleh pemerintah Iran. Amnesty International menyatakan bahwa pembatasan ini melanggar hukum internasional yang menjamin hak atas informasi dan kebebasan berekspresi.
Dalam pernyataan resminya, Amnesty menyebutkan, “Iran menggunakan pembatasan akses digital sebagai alat represi, memutus rakyat dari dunia luar dan membungkam perbedaan suara.” Pernyataan ini juga menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menekan Iran agar menghentikan sensor internet.
Human Rights Watch juga menyatakan hal serupa. Organisasi tersebut menyebut pemutusan internet sebagai “penyalahgunaan kekuasaan digital” yang berdampak luas pada kesejahteraan rakyat.
Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Kantor Komisaris Tinggi HAM, menyerukan kepada Iran agar memulihkan akses penuh internet dan menghormati hak-hak digital warganya.
Dari dalam negeri, beberapa kelompok oposisi dan aktivis digital mencoba menyebarkan informasi tentang kondisi Iran melalui jalur-jalur alternatif. Namun, risiko keamanan terhadap mereka tetap tinggi karena adanya pemantauan siber yang ketat.
Memasuki akhir Juni 2025, sebagian wilayah telah mengalami pemulihan jaringan secara bertahap. Namun, layanan masih dibatasi secara selektif berdasarkan wilayah, jenis aplikasi, dan operator jaringan.
Pemerintah Iran belum menyatakan kapan semua pembatasan akan dicabut sepenuhnya. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pemulihan penuh masih akan memakan waktu, tergantung pada situasi politik dan keamanan dalam negeri.
Warga Iran saat ini mengandalkan jaringan lokal atau aplikasi alternatif buatan dalam negeri yang tidak diblokir. Namun, sebagian besar dari aplikasi tersebut dikendalikan oleh pemerintah, sehingga menimbulkan kekhawatiran atas privasi data pengguna.
Dalam situasi yang masih belum menentu, beberapa perusahaan teknologi Iran menyarankan masyarakat untuk menggunakan platform komunikasi lokal. Sementara itu, perusahaan VPN internasional melaporkan lonjakan permintaan dari wilayah Iran.
Masalah ini juga menjadi sorotan dalam komunitas teknologi global. Para pengembang open-source mulai meningkatkan upaya pembuatan alat yang mampu melawan sensor internet yang diberlakukan secara nasional.
Situasi pembatasan internet di Iran menunjukkan bagaimana kontrol informasi digital dapat digunakan sebagai alat politik. Langkah pemerintah dalam mengendalikan komunikasi masyarakat menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis. Perlu adanya pengawasan dan desakan global agar tindakan semacam ini tidak terus berulang.
Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan digital, komunitas internasional dapat memperkuat regulasi terkait kebebasan akses internet. Selain itu, negara-negara demokratis diharapkan mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam pengelolaan jaringan nasional.
Dalam jangka panjang, masyarakat sipil di Iran memerlukan dukungan teknis dan diplomatik agar mereka dapat memperoleh kembali kebebasan dalam berkomunikasi. Keterlibatan masyarakat internasional dalam mendukung perangkat lunak terbuka juga akan sangat penting.
Krisis ini seharusnya menjadi peringatan bagi banyak negara tentang potensi bahaya dari pemusatan kendali informasi. Teknologi internet seharusnya digunakan untuk memperluas wawasan, bukan untuk menyekat akses dan membungkam kebenaran.
Ke depan, Iran perlu merevisi pendekatannya terhadap kebijakan digital dan mempertimbangkan kembali pentingnya hak atas akses informasi sebagai bagian dari kemajuan dan kebebasan warga negaranya. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v